M A M A
Ketika dokter memvonis mata ku buta,rasanya seperti menelan
ribuan jarum. Teriakan ku tercekat di tenggorokan,begitupula air mata yang
seketika mengering di sudut mata. Gelap. Hanya itu yang bisa aku lihat. Isakan
tangis terdengar di telinga ku,aku tahu itu mama. Aku meraba sekeliling mencari
mama,kegelisahan ku sedikit berkurang ketika jemari ku menyentuh pergelangan
seseorang. Aku yakin itu mama,gelang yang tersentuh oleh jemari ku menunjukkan
itu adalah mama. Bagaimana mungkin aku melupakan bentuk gelang
itu,sedangkan gelang itu merupakan kado
ulang tahun yang sengaja aku siapkan khusus untuk mama. Mama langsung memeluk
ku. erat. Lama sekali. Sampai ku rasakan air mata itu mulai membasahi pundak
ku. aku takut,bukan karena tidak bisa melihat seluruh penjuru dunia ini.
ketakutan ku adalah saat mama tidak bisa menerima suratan takdir bahwa anak nya
buta. Aku takut kalau mama kehilangan senyuman dan semangat nya. Aku takut
beliau benar-benar memuja keterpurukan sampai lupa untuk bangkit kembali. Aku
takut,mama kehilangan penglihatannya,padahal ia bisa melihat. Tapi,bagaimana
memberitahu mama tentang semua ini. Bagaimana mengatakan kepada mama kalau buta
tidak mematikan kehidupan ku. Bagaimana menyadarkan mama bahwa menangisi
kebutaan ku tidak akan pernah mengembalikan penglihatan ku.
Singkat cerita kini aku sudah berada di rumah. Dokter
mengizinkan aku pulang saat pemeriksaan intens sudah di lakukan. Sebenarnya ada
berita gembira ,namun jika harus memilih aku tidak mau berita itu sampai
ditelinga mama dan ayah. Berita itu memang membahagiakan hati ku namun beban
untuk kedua orangtua ku. Aku bisa melihat lagi, namun jika ada yang mau
mendonorkan mata untuk ku. Zaman sekarang mana ada orang yang mau mendonorkan
mata secara gratis. Kalaupun ada tentunya
biaya yang diperlukan tidak sedikit. Akhirnya berita itu hanya menjadi beban
untuk orangtua ku. Bagaimana mungkin operasi akan terlaksana, ayah dan mama
hanya buruh pemetik teh. Kami hanya orang desa yang hidup sederhana.
“ Cinta…makan dulu ya,mama sudah masakin kamu hati ayam…”
Panggilan mama
membuyarkan lamunan ku. Mendengar itu aku langsung berdiri dan berjalan menuju
dapur. Namun sayang baru selangkah menapakkan kaki, aku sudah harus merasakan
perih di lutut akibat terbentur meja. Sekali lagi,aku lupa kalau sekarang aku
hanyalah gadis buta. Mana bisa aku berjalan bebas seperti dulu. Aku tersenyum sambil
meraba lutut yang perih. Ini adalah teguran kalau aku harus belajar mengenali
seluruh isi rumah dengan persaan bukan dengan mata lagi. Aku langsung bangkit
meraba sekeliling dengan tangan. Tekad ku adalah sampai ke meja makan tanpa
bantuan siapapun. Sayangnya mama menghampiri ku,mungkin beliau kaget mendengar
suara meja yang tertabrak tadi. Benar saja,mama menangis lagi sambil menyentuh
lutut ku. akupun tidak tahu bagaimana kondisi lutut ku,apakah memar atau
berdarah. Yang jelas hanya perih yang kurasakan.
“ Ma.. kenapa nangis?”
“ Cinta, lutut mu nak…”
“ Kenapa ma?”
“ Memar, pasti meja ini yang membuat mu terluka!”
Dengan cepat aku menggeleng, bagaimana bisa mama
menyalahkan meja? Sedangkan meja tdak berjalan, akulah yang salah karena
menabrak nya.
“ Bukan ma, Cinta yang tidak berhati-hati…”
“ Mama akan menyuruh ayah menggeserkan semua perabotan
rumah agar tidak mengganggu mu,kalau perlu biarlah rumah ini kosong! Mama akan
merasa tenang.”
“ Jangan ma, kalau di kosongkan bagaimana jika ada tamu
yang datang? Mereka duduk dimana? Ma,Cinta mohon jangan salahkan siapapun dan
apapun. Sudah takdir Cinta menjadi buta Ma…”
“ Kamu tidak akan buta selamanya,sebentar lagi kamu pasti
bisa melihat lagi. Apapun akan mama korbankan nak, apapun!” jawab mama sambil menggiring ku
menuju meja makan.
Kata-kata yang baru saja mama ucapkan sesungguhnya membuat
hati ku gelisah. Mama bukan orang yang plin-plan. Apa yang dia ucapkan dan apa
yang ia janjikan pasti akan ditepati. Seperti saat aku masih duduk di kelas
tiga SMP. Mama janji akan membelikan aku sepeda baru untuk sekolah di SMA
nanti,kebetulan letak SMA lumayan jauh dari rumah ku. Syaratnya aku harus
meraih peringkat satu saat kelulusan.
Aku belajar siang dan malam dengan sungguh-sungguh. Saat kelulusan di
umumkan aku lah yang meraih peringkat satu. Mama sangat bahagia, begitupun
ayah. Namun saat itu uang tabungan mama belum cukup untuk membeli sepeda baru.
Sudah ku katakan pada mama kalau aku tidak menginginkan lagi sepeda itu. Aku
bisa pergi sekolah berjalan kaki seperti biasa bersama teman-teman. Namun mama
tetap kukuh dengan janjinya. Keesokan harinya saat aku baru selesai mengurus
formulir SMA,didepan rumah sepeda baru berwarna merah muda sudah terparkir.
Ternyata mama menjual cincin dari almarhum nenek. Mengetahui hal itu aku
bertekad untuk terus membuat mama bahagia. Dari awal masuk SMA sampai kelulusan
aku selalu meraih juara satu. Namun selama itu pula aku tidak pernah meminta
apapun kepada mama. Saat mama menangis bahagia menerima raport,selalu terpanjat
doa agar aku selalu bisa membahagiakan mama sepanjang hidup ku. Selain masalah
sepeda,mama juga pernah menggadaikan cincin pernikahan untuk biaya studi
banding ke Jakarta. Aku sudah berusaha meyakinkan mama bahwa kegiatan itu tidak
terlalu penting dan juga tidak berpengaruh untuk prestasi ku. Namun mama tetap
ingin aku ikut. Mama bilang sudah sepantasnya aku menikmati dunia luar. Saat
itu aku kukuh untuk tidak pergi. Bahkan saat mama sudah melunasi biaya nya
akupun tetap tidak mau pergi. Ketika melihat mama menangis di dalam kamar
karena kecewa akan keputusan ku,barulah aku membereskan segala keperluan untuk
ikut studi tour. Mama terlihat sangat senang. Itulah mengapa aku gelisah
mendengar ucapan mama barusan. Apalagi yang akan mama gadaikan? Bahkan rumah
ini pun tidak akan cukup untuk membiayai operasi itu. Kalaupun cukup,dimana
kami akan tinggal nanti? Ahh,kegelisahan ku mulai menjadi-jadi.
Pagi ini aku menikmati hembusan angin pagi di teras rumah.
Bangku dari bambu yang dibuat oleh ayah merupakan tempat favorit ku. ayah
melakukan aktivitas seperti biasa,berangkat pagi-pagi sekali untuk memetik daun
teh. Sedangkan mama meminta cuti karena khawatir meninggalkan ku sendiri di
rumah. Bos perkebunan teh sekiranya bisa mengerti kondisi keluarga kami. Mama
sedang belanja keperluan dapur di pasar,baru sebentar saja aku ditinggalkan
rasa sepi ini berhasil menusuk setiap rongga yang ada dalam tubuh. Aku berharap
mama cepat pulang lalu mencium kening ku seperti pagi kemarin. Itulah ritual
yang selalu dilakukan mama sampai saat ini,mencium kening putri semata
wayangnya. Membayangkan itu dalam tabir kegelapan yang melanda,aku seperti
melihat cahaya terang yang tak akan pernah pudar.
Suara gesekan sandal jepit hinggap ditelinga ku. ahh,itu
pasti mama.
“ Mama…” panggil ku sambil menebarkan senyuman.
“ Iya Cinta…” Jawab mama sambil mencium kening ku.
Lagi-lagi aku kembali
merasakan kehadiran cahaya itu.
Kali ini mama tidak langsung masuk kedapur,melainkan duduk
di samping ku sambil membelai rambut panjang yang aku miliki. Tiba-tiba
tangisan mama pecah. Aku kelabakan,berusaha menggapai mama dengan jari-jari
ini.
“ Mama…ada apa? Bukan kah mama sudah janji tidak akan
menagis lagi?”
“ Mama tidak bisa menepati janji yang satu itu nak,mama
tidak bisa!” Suara tangisan mama semakin menjadi-jadi.
“ Ada apa ma? Apa ada yang melukai mama?” tanya ku semakin
panic.
“ Tidak nak,tidak ada!”
“ Lalu ada apa ma?” Aku semakin penasaran.
“ Tadi mama bertemu dengan Bu Siti,beliau sedang
bersiap-siap untuk mengantar kepergian Bella ke Jakarta. Bella akan kuliah di
sana nak,dia akan menjadi dokter kelak!
Tiba-tiba saja air mata ku menetes. Ya Allah,aku tidak tega
melihat kesedihan mama ini. harusnya aku juga akan berangkat ke Jakarta bersama
Bella. Kami akan kuliah ditempat yang sama dengan jurusan yang sama pula.
Fakultas kedokteran di Universitas Indonesia. Bedanya Bella dibiayai oleh
orangtuanya sedangkan aku beasiswa penuh dari pemerintah. Aku masih ingat
bagaimana haru-biru saat kepala sekolah mengantar surat beasiswa itu ke rumah.
Ayah tak henti-hentinya bertasbih menyebut nama Allah,sedangkan mama menangis
tiada henti sepanjang hari. Akupun menjadi buah bibir di kampung,ibu-ibu sibuk
menasehati anaknya agar giat belajar agar bisa sekolah gratis seperti ku. Namun
semua itu tinggal kenangan,hanya kenangan saja.
Semua itu berawal dari keinginan ku mengantar makan siang
untuk ayah. Mama sudah melarang ku untuk pergi,namun aku tetap saja ingin pergi
mengantar makan siang itu. akupun tidak tahu,biasanya aku selalu patuh akan
perintah mama,namun hari itu keinginan ku tidak bisa dicegah. Setelah selesai
menyiapkan makanan di rantang susun aku langsung menyambar sepeda dan langsung
melesat pergi menuju kebun teh. Aku masih ingat betul bagaimana ekspresi mama
di depan pintu saat menatap kepergian ku. Untuk sampai ke kebun teh itu ada dua
jalur yang bisa ditempuh. Yang pertama melewati perkampungan namun jalannya
berkerikil dan jauh memutar hingga diperlukan waktu yang agak lama untuk
sampai. Sebagai alternatif ada pula jalan raya,selain jalan yang mulus juga
tidak diperlukan waktu yang lama namun jalan raya itu sangat ramai. Tanpa ragu
aku memutar sepeda ku menuju ke jalan raya. Matahari sudah sangat tinggi,kalau
aku terlambat sedikit saja ayah pasti sudah memakan makanan yang disediakan
oleh pabrik,itu artinya makanan yang aku bawakan tidak akan dimakan oleh ayah. Aku
mengayuh sepeda dengan cepat, peluh mulaai menetes di dahi. Wajah ayah yang
kelelahan terlintas di benak ku, aku tidak akan membiarkan ayah menunggu. Aku
juga membayangkan wajah ayah yang akan tersenyum melihat anaknya datang sambil
membawa rantang berisi masakan istri tercinta nya. Tidak lupa khayalan ku
betapa bangga nya ayah memperkenalkan aku kepada teman-teman nya kelak, anak
satu-satunya yang akan melanjutkan kuliah ke Jakarta dengan beasiswa penuh dari
pemerintah.
Di depan ku ada perempatan, biasanya selalu ramai namun
hari ini terlihat sepi. Senyuman ku kembali merekah saat itu, artinya aku tidak
perlu menunggu untuk menyebrang jalan. Kayuhan sepeda ku semakin kencang, bait-bait
lagu Laskar Pelangi yang sedari tadi aku lantunkan hampir selesai. Tanpa aku
sadari ujian terbesar akan segera menghampiri ku. Kehidupan ku akan berbalik.
Cita-cita ku harus disimpan dalam kegelapan. Mimpi kedua orangtua ku harus
kandas. Sebuah mobil truk melaju kencang dari arah kiri. Pada saat itu aku
sudah berusaha mempercepat laju sepeda, namun kecepatan truk yang tinggi tidak
bisa ditandingi. Aku berteriak sangat keras berharap si sopir menghentikan laju
truk nya. Satu yang terlintas di pikiran ku adalah Allah, Allah selalu bersama
umatnya. Dengan pasrah aku memejamkan mata, bertasbih menyebut namanya dalam kepanikan
yang tinggi. Sesuatu menyentuh tubuh ku hingga aku merasa seperti melayang dan
tidak sadarkan diri.
Lima tahun sudah setelah kejadian itu, semua masih terlukis
sempurna di benak ku bahkan sampai detik ini. Banyak kejadian yang sulit aku
lupakan dan tentunya banyak pelajaran yang bisa aku petik untuk hidup sebagai
manusia yang selalu bersyukur atas nikmat Allah. Hari ini ada satu tempat yang
akan aku kunjungi, tempat yang selalu aku rindukan, tempat dimana aku bisa
merasakan kebahagiaan sekaligus kesedihan mendalam. Tempat yang selalu aku
datangi saat kesedihan melanda batin ku juga tempat yang selalu aku datangi
saat keberhasilan menghampiri ku.
“ Dok, karangan bunga nya sudah datang. Mau di masukkan
kedalam mobil atau di tinggal di loby?” seorang perawat mengahampiri ku.
Aku tersenyum sambil
menyerahkan kontak mobil.
Setelah merapikan meja kerja, aku langsung menarik sebuah
jas putih yang tergantung di tembok. Jas itu bertuliskan dr. Cinta Swastie.
Sudah satu tahun ini aku bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Hari
ini aku akan pulang ke Bandung untuk menjenguk seseorang.
Kaki ku mulai bergetar saat melangkah memasuki pagar, debar
jantung ku sulit untuk di control. Hal seperti ini selalu terjdi sejak lima
tahun terakhir. Aku berhenti di sebuah pusara, sembari berlutut aku meletakkan
rangkaian bunga di depan nisan. Ini makam mama, tempat peristirahatan terakhir
orang yang sngat aku cintai. Hanya dengan cara menolong banyak orang dari
kematian inilah aku bisa memaafkan diri ku, setidaknya aku mempertahankan hidup
ku untuk menebus kesalahan. Mama. aku masih ingat betul ketika pagi di hari
jumat. Aku tidak mendengar suara dentingan perabotan masak di dapur. Aku juga
tidak mendengar suara gesekan sandal mama di rumah. Tidak ada yang datang mengelus
rambut ku ketika subuh tiba. Kata ayah mama masih tidur, mama bilang tidak enak
badan dan ayah enggan mengganggu nya. Mengetahui hal tersebut aku segera masuk
ke kamar mama dituntun tongkat kayu. Aku duduk di ranjang lalu meraba sekitar
mencari tempat mama beristirahat. Tangan ku terasa menyentih bahu seseorang,
tubuh itu tidur menyamping. Rasanya tidak menghadap kearah ayah. Aku menaikkan
sedikit tangan ku untuk meraba wajah mama dan memastikan kondisi nya. Tiba-tiba
jemari ku tersengat suhu dingin dari wajah mama, hati ku mulai berdebar. Aku
memanggil mama pelan. Tidak ada jawaban. Aku memanggil lagi dengan nada sedikit
keras, tetap tidak ada jawaban. Ku guncangkan tubuh mama tetap saja tidak ada
reaksi. Jeritan ku menggelegar dan tangisan ku pecah hingga membuat ayah kaget.
Dokter mengatakan bahwa mama meninggal karena meminum obat
tidur terlalu banyak. Hal yang paling mengejutkan adalah semua itu sepertinya
disengaja oleh mama karena tiga hari sebelumnya mama pernah datang menemui
dokter. Dari keterangan dokter mama berpesan agar matanya di berikan kepada ku,
jika tabungan mereka tidak cukup untuk biaya operasi dokter boleh menjual organ
tubuhnya kepada orang yang membutuhkan.
Bagaimanapun aku sangat terpukul, aku mmbenci diri ku
sendiri. Ayah, satu-satunya yang aku punya selalu menguatkan aku dan mengatakan
bahwa ini bukan kesalahan ku. dengan paksaan dari ayah akhirnya aku menjalankan
operasi itu. Kemuliaan hati mama menyentuh hati dokter yang menangani operasi
ku. aku dibebaskan dari seluruh biaya sampai mata ku normal kembali.
Kini mama sudah tidak ada di samping ku, namun dengan mata
ini aku selalu merasa melihat mama dalam diri ku. Pengorbanan yang mama lakukan
memang salah, siapapun tidak membenarkan bunuh diri adalah jalan terbaik. Aku
selalu berdoa agar Allah memaafkan mama dan menghargai niat mulianya. Mama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar