Rabu, 11 Maret 2015

cerpen " MAMA "



M A M A

          Ketika dokter memvonis mata ku buta,rasanya seperti menelan ribuan jarum. Teriakan ku tercekat di tenggorokan,begitupula air mata yang seketika mengering di sudut mata. Gelap. Hanya itu yang bisa aku lihat. Isakan tangis terdengar di telinga ku,aku tahu itu mama. Aku meraba sekeliling mencari mama,kegelisahan ku sedikit berkurang ketika jemari ku menyentuh pergelangan seseorang. Aku yakin itu mama,gelang yang tersentuh oleh jemari ku menunjukkan itu adalah mama. Bagaimana mungkin aku melupakan bentuk gelang itu,sedangkan  gelang itu merupakan kado ulang tahun yang sengaja aku siapkan khusus untuk mama. Mama langsung memeluk ku. erat. Lama sekali. Sampai ku rasakan air mata itu mulai membasahi pundak ku. aku takut,bukan karena tidak bisa melihat seluruh penjuru dunia ini. ketakutan ku adalah saat mama tidak bisa menerima suratan takdir bahwa anak nya buta. Aku takut kalau mama kehilangan senyuman dan semangat nya. Aku takut beliau benar-benar memuja keterpurukan sampai lupa untuk bangkit kembali. Aku takut,mama kehilangan penglihatannya,padahal ia bisa melihat. Tapi,bagaimana memberitahu mama tentang semua ini. Bagaimana mengatakan kepada mama kalau buta tidak mematikan kehidupan ku. Bagaimana menyadarkan mama bahwa menangisi kebutaan ku tidak akan pernah mengembalikan penglihatan ku.
          Singkat cerita kini aku sudah berada di rumah. Dokter mengizinkan aku pulang saat pemeriksaan intens sudah di lakukan. Sebenarnya ada berita gembira ,namun jika harus memilih aku tidak mau berita itu sampai ditelinga mama dan ayah. Berita itu memang membahagiakan hati ku namun beban untuk kedua orangtua ku. Aku bisa melihat lagi, namun jika ada yang mau mendonorkan mata untuk ku. Zaman sekarang mana ada orang yang mau mendonorkan mata  secara gratis. Kalaupun ada tentunya biaya yang diperlukan tidak sedikit. Akhirnya berita itu hanya menjadi beban untuk orangtua ku. Bagaimana mungkin operasi akan terlaksana, ayah dan mama hanya buruh pemetik teh. Kami hanya orang desa yang hidup sederhana.
          “ Cinta…makan dulu ya,mama sudah masakin kamu hati ayam…”
Panggilan mama membuyarkan lamunan ku. Mendengar itu aku langsung berdiri dan berjalan menuju dapur. Namun sayang baru selangkah menapakkan kaki, aku sudah harus merasakan perih di lutut akibat terbentur meja. Sekali lagi,aku lupa kalau sekarang aku hanyalah gadis buta. Mana bisa aku berjalan bebas seperti dulu. Aku tersenyum sambil meraba lutut yang perih. Ini adalah teguran kalau aku harus belajar mengenali seluruh isi rumah dengan persaan bukan dengan mata lagi. Aku langsung bangkit meraba sekeliling dengan tangan. Tekad ku adalah sampai ke meja makan tanpa bantuan siapapun. Sayangnya mama menghampiri ku,mungkin beliau kaget mendengar suara meja yang tertabrak tadi. Benar saja,mama menangis lagi sambil menyentuh lutut ku. akupun tidak tahu bagaimana kondisi lutut ku,apakah memar atau berdarah. Yang jelas hanya perih yang kurasakan.
          “ Ma.. kenapa nangis?”
          “ Cinta, lutut mu nak…”
          “ Kenapa ma?”
          “ Memar, pasti meja ini yang membuat mu terluka!”
          Dengan cepat aku menggeleng, bagaimana bisa mama menyalahkan meja? Sedangkan meja tdak berjalan, akulah yang salah karena menabrak nya.
          “ Bukan ma, Cinta yang tidak berhati-hati…”
          “ Mama akan menyuruh ayah menggeserkan semua perabotan rumah agar tidak mengganggu mu,kalau perlu biarlah rumah ini kosong! Mama akan merasa tenang.”
          “ Jangan ma, kalau di kosongkan bagaimana jika ada tamu yang datang? Mereka duduk dimana? Ma,Cinta mohon jangan salahkan siapapun dan apapun. Sudah takdir Cinta menjadi buta Ma…”
          “ Kamu tidak akan buta selamanya,sebentar lagi kamu pasti bisa melihat lagi. Apapun akan mama korbankan nak,  apapun!” jawab mama sambil menggiring ku menuju meja makan.
          Kata-kata yang baru saja mama ucapkan sesungguhnya membuat hati ku gelisah. Mama bukan orang yang plin-plan. Apa yang dia ucapkan dan apa yang ia janjikan pasti akan ditepati. Seperti saat aku masih duduk di kelas tiga SMP. Mama janji akan membelikan aku sepeda baru untuk sekolah di SMA nanti,kebetulan letak SMA lumayan jauh dari rumah ku. Syaratnya aku harus meraih peringkat satu saat kelulusan.  Aku belajar siang dan malam dengan sungguh-sungguh. Saat kelulusan di umumkan aku lah yang meraih peringkat satu. Mama sangat bahagia, begitupun ayah. Namun saat itu uang tabungan mama belum cukup untuk membeli sepeda baru. Sudah ku katakan pada mama kalau aku tidak menginginkan lagi sepeda itu. Aku bisa pergi sekolah berjalan kaki seperti biasa bersama teman-teman. Namun mama tetap kukuh dengan janjinya. Keesokan harinya saat aku baru selesai mengurus formulir SMA,didepan rumah sepeda baru berwarna merah muda sudah terparkir. Ternyata mama menjual cincin dari almarhum nenek. Mengetahui hal itu aku bertekad untuk terus membuat mama bahagia. Dari awal masuk SMA sampai kelulusan aku selalu meraih juara satu. Namun selama itu pula aku tidak pernah meminta apapun kepada mama. Saat mama menangis bahagia menerima raport,selalu terpanjat doa agar aku selalu bisa membahagiakan mama sepanjang hidup ku. Selain masalah sepeda,mama juga pernah menggadaikan cincin pernikahan untuk biaya studi banding ke Jakarta. Aku sudah berusaha meyakinkan mama bahwa kegiatan itu tidak terlalu penting dan juga tidak berpengaruh untuk prestasi ku. Namun mama tetap ingin aku ikut. Mama bilang sudah sepantasnya aku menikmati dunia luar. Saat itu aku kukuh untuk tidak pergi. Bahkan saat mama sudah melunasi biaya nya akupun tetap tidak mau pergi. Ketika melihat mama menangis di dalam kamar karena kecewa akan keputusan ku,barulah aku membereskan segala keperluan untuk ikut studi tour. Mama terlihat sangat senang. Itulah mengapa aku gelisah mendengar ucapan mama barusan. Apalagi yang akan mama gadaikan? Bahkan rumah ini pun tidak akan cukup untuk membiayai operasi itu. Kalaupun cukup,dimana kami akan tinggal nanti? Ahh,kegelisahan ku mulai menjadi-jadi.
          Pagi ini aku menikmati hembusan angin pagi di teras rumah. Bangku dari bambu yang dibuat oleh ayah merupakan tempat favorit ku. ayah melakukan aktivitas seperti biasa,berangkat pagi-pagi sekali untuk memetik daun teh. Sedangkan mama meminta cuti karena khawatir meninggalkan ku sendiri di rumah. Bos perkebunan teh sekiranya bisa mengerti kondisi keluarga kami. Mama sedang belanja keperluan dapur di pasar,baru sebentar saja aku ditinggalkan rasa sepi ini berhasil menusuk setiap rongga yang ada dalam tubuh. Aku berharap mama cepat pulang lalu mencium kening ku seperti pagi kemarin. Itulah ritual yang selalu dilakukan mama sampai saat ini,mencium kening putri semata wayangnya. Membayangkan itu dalam tabir kegelapan yang melanda,aku seperti melihat cahaya terang yang tak akan pernah pudar.
          Suara gesekan sandal jepit hinggap ditelinga ku. ahh,itu pasti mama.
          “ Mama…” panggil ku sambil menebarkan senyuman.
          “ Iya Cinta…” Jawab mama sambil mencium kening ku.
Lagi-lagi aku kembali merasakan kehadiran cahaya itu.
          Kali ini mama tidak langsung masuk kedapur,melainkan duduk di samping ku sambil membelai rambut panjang yang aku miliki. Tiba-tiba tangisan mama pecah. Aku kelabakan,berusaha menggapai mama dengan jari-jari ini.    
          “ Mama…ada apa? Bukan kah mama sudah janji tidak akan menagis lagi?”
          “ Mama tidak bisa menepati janji yang satu itu nak,mama tidak bisa!” Suara tangisan mama semakin menjadi-jadi.
          “ Ada apa ma? Apa ada yang melukai mama?” tanya ku semakin panic.
          “ Tidak nak,tidak ada!”
          “ Lalu ada apa ma?” Aku semakin penasaran.
          “ Tadi mama bertemu dengan Bu Siti,beliau sedang bersiap-siap untuk mengantar kepergian Bella ke Jakarta. Bella akan kuliah di sana nak,dia akan menjadi dokter kelak!
          Tiba-tiba saja air mata ku menetes. Ya Allah,aku tidak tega melihat kesedihan mama ini. harusnya aku juga akan berangkat ke Jakarta bersama Bella. Kami akan kuliah ditempat yang sama dengan jurusan yang sama pula. Fakultas kedokteran di Universitas Indonesia. Bedanya Bella dibiayai oleh orangtuanya sedangkan aku beasiswa penuh dari pemerintah. Aku masih ingat bagaimana haru-biru saat kepala sekolah mengantar surat beasiswa itu ke rumah. Ayah tak henti-hentinya bertasbih menyebut nama Allah,sedangkan mama menangis tiada henti sepanjang hari. Akupun menjadi buah bibir di kampung,ibu-ibu sibuk menasehati anaknya agar giat belajar agar bisa sekolah gratis seperti ku. Namun semua itu tinggal kenangan,hanya kenangan saja.
          Semua itu berawal dari keinginan ku mengantar makan siang untuk ayah. Mama sudah melarang ku untuk pergi,namun aku tetap saja ingin pergi mengantar makan siang itu. akupun tidak tahu,biasanya aku selalu patuh akan perintah mama,namun hari itu keinginan ku tidak bisa dicegah. Setelah selesai menyiapkan makanan di rantang susun aku langsung menyambar sepeda dan langsung melesat pergi menuju kebun teh. Aku masih ingat betul bagaimana ekspresi mama di depan pintu saat menatap kepergian ku. Untuk sampai ke kebun teh itu ada dua jalur yang bisa ditempuh. Yang pertama melewati perkampungan namun jalannya berkerikil dan jauh memutar hingga diperlukan waktu yang agak lama untuk sampai. Sebagai alternatif ada pula jalan raya,selain jalan yang mulus juga tidak diperlukan waktu yang lama namun jalan raya itu sangat ramai. Tanpa ragu aku memutar sepeda ku menuju ke jalan raya. Matahari sudah sangat tinggi,kalau aku terlambat sedikit saja ayah pasti sudah memakan makanan yang disediakan oleh pabrik,itu artinya makanan yang aku bawakan tidak akan dimakan oleh ayah. Aku mengayuh sepeda dengan cepat, peluh mulaai menetes di dahi. Wajah ayah yang kelelahan terlintas di benak ku, aku tidak akan membiarkan ayah menunggu. Aku juga membayangkan wajah ayah yang akan tersenyum melihat anaknya datang sambil membawa rantang berisi masakan istri tercinta nya. Tidak lupa khayalan ku betapa bangga nya ayah memperkenalkan aku kepada teman-teman nya kelak, anak satu-satunya yang akan melanjutkan kuliah ke Jakarta dengan beasiswa penuh dari pemerintah.
          Di depan ku ada perempatan, biasanya selalu ramai namun hari ini terlihat sepi. Senyuman ku kembali merekah saat itu, artinya aku tidak perlu menunggu untuk menyebrang jalan. Kayuhan sepeda ku semakin kencang, bait-bait lagu Laskar Pelangi yang sedari tadi aku lantunkan hampir selesai. Tanpa aku sadari ujian terbesar akan segera menghampiri ku. Kehidupan ku akan berbalik. Cita-cita ku harus disimpan dalam kegelapan. Mimpi kedua orangtua ku harus kandas. Sebuah mobil truk melaju kencang dari arah kiri. Pada saat itu aku sudah berusaha mempercepat laju sepeda, namun kecepatan truk yang tinggi tidak bisa ditandingi. Aku berteriak sangat keras berharap si sopir menghentikan laju truk nya. Satu yang terlintas di pikiran ku adalah Allah, Allah selalu bersama umatnya. Dengan pasrah aku memejamkan mata, bertasbih menyebut namanya dalam kepanikan yang tinggi. Sesuatu menyentuh tubuh ku hingga aku merasa seperti melayang dan tidak sadarkan diri.
          Lima tahun sudah setelah kejadian itu, semua masih terlukis sempurna di benak ku bahkan sampai detik ini. Banyak kejadian yang sulit aku lupakan dan tentunya banyak pelajaran yang bisa aku petik untuk hidup sebagai manusia yang selalu bersyukur atas nikmat Allah. Hari ini ada satu tempat yang akan aku kunjungi, tempat yang selalu aku rindukan, tempat dimana aku bisa merasakan kebahagiaan sekaligus kesedihan mendalam. Tempat yang selalu aku datangi saat kesedihan melanda batin ku juga tempat yang selalu aku datangi saat keberhasilan menghampiri ku.
          “ Dok, karangan bunga nya sudah datang. Mau di masukkan kedalam mobil atau di tinggal di loby?” seorang perawat mengahampiri ku.
Aku tersenyum sambil menyerahkan kontak mobil.
          Setelah merapikan meja kerja, aku langsung menarik sebuah jas putih yang tergantung di tembok. Jas itu bertuliskan dr. Cinta Swastie. Sudah satu tahun ini aku bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Hari ini aku akan pulang ke Bandung untuk menjenguk seseorang.
          Kaki ku mulai bergetar saat melangkah memasuki pagar, debar jantung ku sulit untuk di control. Hal seperti ini selalu terjdi sejak lima tahun terakhir. Aku berhenti di sebuah pusara, sembari berlutut aku meletakkan rangkaian bunga di depan nisan. Ini makam mama, tempat peristirahatan terakhir orang yang sngat aku cintai. Hanya dengan cara menolong banyak orang dari kematian inilah aku bisa memaafkan diri ku, setidaknya aku mempertahankan hidup ku untuk menebus kesalahan. Mama. aku masih ingat betul ketika pagi di hari jumat. Aku tidak mendengar suara dentingan perabotan masak di dapur. Aku juga tidak mendengar suara gesekan sandal mama di rumah. Tidak ada yang datang mengelus rambut ku ketika subuh tiba. Kata ayah mama masih tidur, mama bilang tidak enak badan dan ayah enggan mengganggu nya. Mengetahui hal tersebut aku segera masuk ke kamar mama dituntun tongkat kayu. Aku duduk di ranjang lalu meraba sekitar mencari tempat mama beristirahat. Tangan ku terasa menyentih bahu seseorang, tubuh itu tidur menyamping. Rasanya tidak menghadap kearah ayah. Aku menaikkan sedikit tangan ku untuk meraba wajah mama dan memastikan kondisi nya. Tiba-tiba jemari ku tersengat suhu dingin dari wajah mama, hati ku mulai berdebar. Aku memanggil mama pelan. Tidak ada jawaban. Aku memanggil lagi dengan nada sedikit keras, tetap tidak ada jawaban. Ku guncangkan tubuh mama tetap saja tidak ada reaksi. Jeritan ku menggelegar dan tangisan ku pecah hingga membuat ayah kaget.
          Dokter mengatakan bahwa mama meninggal karena meminum obat tidur terlalu banyak. Hal yang paling mengejutkan adalah semua itu sepertinya disengaja oleh mama karena tiga hari sebelumnya mama pernah datang menemui dokter. Dari keterangan dokter mama berpesan agar matanya di berikan kepada ku, jika tabungan mereka tidak cukup untuk biaya operasi dokter boleh menjual organ tubuhnya kepada orang yang membutuhkan.
          Bagaimanapun aku sangat terpukul, aku mmbenci diri ku sendiri. Ayah, satu-satunya yang aku punya selalu menguatkan aku dan mengatakan bahwa ini bukan kesalahan ku. dengan paksaan dari ayah akhirnya aku menjalankan operasi itu. Kemuliaan hati mama menyentuh hati dokter yang menangani operasi ku. aku dibebaskan dari seluruh biaya sampai mata ku normal kembali.
          Kini mama sudah tidak ada di samping ku, namun dengan mata ini aku selalu merasa melihat mama dalam diri ku. Pengorbanan yang mama lakukan memang salah, siapapun tidak membenarkan bunuh diri adalah jalan terbaik. Aku selalu berdoa agar Allah memaafkan mama dan menghargai niat mulianya. Mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar