Sepotong
Jilbab
Semilir angin
mempermaikan ujung jibabku yang tergerai bebas. Ku nikmati suara gemericik
aliran air di bawah jembatan Imogiri. Sesekali mata ku menatap layar ponsel
yang sedang memanerkan foto ku tanpa jilbab. Begitu cantiknya rambut panjang ku
yang tergerai indah sampai ke pinggang. Wajah ku yang mulus tanpa sentuhan
make-up menambah kecantikan diri. Namun itu lima bulan yang lalu,sebelum aku
menginjakkan kaki di sini,di Yogyakarta. Sebelum aku memutuskan untuk kuliah di
Universitas Ahmad Dahlan. Aku adalah gadis muslim,namun tidak mengerti cara
berjilbab. Bukan karena pengetahuan agama ku yang rendah,namun kerena
lingkungan. Aku dibesarkan di lingkungan yang mengaggap gaul itu ketika
mengenakan pakaian ala negeri barat. Terbuka,seksi,baju tanpa lengan,dan celana
di atas lutut. Dulu aku bagitu bangga memamerkan kulit putih ku,memperlihatkan
lekuk leher jenjang dan betis indah tanpa lecet sedikitpun. Namun itu dulu,sebelum
aku mengenal Avi. Ku lihat lagi bayangan diriku di air jernih ini,satu jiwa
yang baru. Jiwa yang mengerti apa itu kewajiban perempuan muslimah. Jiwa yang
terbentuk dengan sebuah perjuangan batin. Lima bulan yang lalu,dan inilah
hasilnya.
“ Kamu yakin Kiran mau kuliah di UAD?” tanya mama saat
aku menelpon.
“ Yakin Ma,untuk jurusannya,tapi kalau untuk peraturannya
aku masih ragu!” jawabku dengan penuh kehati-hatian.
“ Yasudah,mana baiknya sajalah!”
Ini adalah hari pertama ku mengikuti ospek di kampus. Aku
terpaksa bangun dua jam lebih awal. Setelah mandi dan sarapan aku segera sholat
subuh. Memanjatkan doa kepada Allah agar tidak mendapatkan hukuman yang
aneh-aneh dari kakak senior. Setelah itu aku langsung membuka lemari,baju
kemeja putih dan rok hitam sudah terpajang rapi. Ku lirik gantungan baju paling
ujung,sebuah kain segi empat berwarna putih terlipat rapi. Itu adalah jilbab
yang harus aku gunakan. Aku menarik nafas panjang,hati ku berbisik pelan. Mampukah
aku menggunakannya sampai sore?
Sudah hampir satu jam aku membolak balik jilbab ini,namun
selalu saja tidak pas sudutnya. Aku mulai kesal,darah ku naik sampai ke
ubun-ubun. Sial. Benda segi empat ini selalu merepotkan aku.
“ Hei kain jelek,kau sungguh menyusahkan. Kalau tidak
karena tuntutan aku tidak akan memakaimu,menyentuh pun aku tidak mau!” umpatku
di depan kaca sambil menyematkan sebuah peniti.
Jam dinding sudah menujukkan pukul lima,aku langsung
menyambar tas karung yang berisi berbagai macam makanan dan minuman. Dengan
cepat ku dorong garasi rumah sambil mengumpat lagi. Aku bisa telat akibat ulah
jilbab ini. Belum lagi aku harus mencari tempat parkir motor karena mahasiswa
baru dilarang membawa kendaraan pribadi. Aturan macam apa itu? kalau untuk orang asli Jogja, ya gak masalah.
Tapi buat ku,anak rantau? Siapa yang mau mengantar? Solusinya naik kendaraan
umun. Gila aja mana ada kendaraan umun fajar buta seperti ini. Inilah resiko
kuliah di universitas yang kampusnya terpecah belah,satu di barat,satu di
utara,satu di selatan,dan entah dimana lagi. Menyesal juga aku kuliah,harusnya
sekarang aku sudah memakai seragam pramugari. Berjalan dengan anggun memasuki
kabin pesawat. Punya pacar seorang pilot dan bisa menginjakkan kaki di berbagai
belahan dunia. Seandainya mama merestui cita-cita ku itu. Ahh…aku sudah tidak
berminat lagi berkhayal.
Saat hampir memasuki jalan Pramuka,aku melihat kakak
senior sudah berjaga-jaga di depan XT-Square. Mereka pasti akan menghukum
mahasiswa baru yang ketahuan membawa kendaraan pribadi. Aku langsung memutar
motor,mencari tempat parkir. Dengan sangat terpaksa aku menitipkan motor di
parkiran dadakan masa ospek yang mahalnya minta ampun. Sejak kapan harga parkir
melonjak lima ratus persen? Aku baru sadar ini kota. Saat bencana melandapun
masih digunakan sebagian orang untuk mencari keuntungan. Mau berbuat
apalagi,inilah kota!
Begitulah seminggu pertama yang aku lewati. Bangun jam
tiga fajar,memakai jilbab satu jam,lalu berburu parkiran. Saat pulang sudah
hampir Magrib. Hal pertama yang langsung aku lakukan adalah kramas,memanjakan
rambutku yang seharian tersiksa oleh scraft jilbab.
Menghitung helain rambut yang rontok akibat tidak terkena sinar matahari.
sungguh,ini siksaan terberat untukku.
Aku hanya memakai jilbab saat kuliah,diluar itu aku tetap
membanggakan baju tanpa lengan dan celana di atas lutut. Aku rasa bukan cuma
aku yang seperti itu,banyak mahasiswi lain yang serupa dengan ku. Tiga bulan
pertama kuliah aku hanya punya lima potong jilbab. Bukan karena tidak punya
uang untuk membelinya,namun aku lebih senang mengeluarkan uang ku untuk membeli
mini
dress keluaran baru. Untuk apa repot-repot mengoleksi jilbab,toh
aku bukan seorang hijabbers. Aku hanya mengikuti peraturan
kampus saja.
Di kampus aku termasuk orang yang periang dan mudah
bergaul,tak heran jika teman ku banyak. Aku bukan tipe orang yang betah
berteman dengan cara berkelompok. Aku lebih suka membaur dengan semua orang.
Bagiku menemukan karakter orang yang berbeda-beda adalah sesuatu yang
menakjubkan. Aku merasa kaya dengan bisa mengetahui bentuk karakter
teman-temanku,setidaknya suatu hari nanti aku bisa mengaplikasikannya pada
pekerjaan ku. Apalagi kalau bukan
mendidik ratusan bahkan ribuan anak!
Aku punya ketua kelas yang emosinya tidak stabil dan
kurang bisa menyadari diri. Bagaimana tidak,dia selalu ingin mengguyoni
orang lain,tapi ketika guyonan nya dibalas dia langsung marah,membalas
dengan omongan kasar yang meledak-ledak. Selain itu aku juga punya teman cewek
dengan gaya khasnya yang agak maco. Hobinya adalah mengoleksi berbagai macam
pernak pernik anime,saat
ini ia sedang menggeluti dunia bisnis bertemakan anime. Lalu ada cowok
berbadan gendut,yang satu ini jangan di contoh. Hobi nya telat,lalu tidur di
dalam kelas. Paling tidak mau tahu tentang tugas. Hal yang paling menyengsarakan
adalah ketika satu kelompok dengannya. Itulah dinamika dalam kelas ku yang
membuat semuanya menjadi indah dan berwarna. Perbedaan itu suatu hari nanti
pasti akan menorehkan kenangan dan kerinduan tersendiri di relung hati ini.
Teman,inilah yang membuat aku mulai meragukan kecantikan
yang selama ini bebas terlihat oleh siapa saja. peristiwa inilah yang telah
meluluhkan hatiku yang keras seperti batu bara. Saat itu,tepat ketika dosen
meninggalkan ruang kelas. Doni,teman sekelas ku yang selalu menorehkan
kekesalan di hatiku. Dia datang mengahampiri ku dengan tatapan dingin seorang
pembunuh. Aku sama sekali tidak memperdulikannya.
“ Kirana…”
Suaranya mulai menghampiri telingaku. Aku tetap
diam,menolehpun aku tidak berminat apalagi menjawab.
“ Kirana…”
Suara itu mulai terdengan jelas,dia pasti meninggikan
volume suaranya agar terdengar oleh ku, dia pikir aku budek apa! Dengan raut
muka tak bersahabat aku menoleh,membalas tatapan tajam matanya. Lewat tatapan
mata ku pasti dia tahu kalau aku sedang bertanya dalam diam. Apa keperluannya?
“ Tidak seharusnya kamu memasang foto seperti ini di
facebook!”
Benarkan dugaan ku,dia pasti mau membahas jilbab lagi di
depan ku. Aku sudah muak mendengar khotbahnya yang tidak penting itu. Semua
bersumber dari akun facebook ku yang selalu memasang foto dengan busana
terbuka. Aku senang sekali memposting berbagai macam foto di dunia
maya,tentunya tanpa jilbab. Aku langsung menyambar tas hendak berlalu dari
hadapannya.
“ Kiran,kamu itu seorang muslimah,cantik! Tidak
seharusnya kamu membiarkan orang yang bukan mukhrim mu melihat keindahan tubuh
mu! Memperlihatkan aurat secara sengaja itu dosa Kiran…”
Doni terus berkata dengan suaranya yang lantang itu. Aku
terpaksa mengehentikan langkah tepat di depan pintu kelas. Aku berbalik.
Menatap tajam kearahnya. Cowok ini benar-benar memuakkan. Aku ingin sekali
membuangkam mulut nya yang sok tahu itu. Tunggu, mungkin kalau pita suaranya di
iris lebih baik,dia pasti tidak akan
membisingkan telingaku lagi.
“ Kamu tidak berhak mengatur hidupku! Memangnya siapa
kamu?” balas ku sambil menunjuk kearah mukanya.
“ Sudah jadi kewajiban ku mengingatkan mu Kiran!”
“ Stop!!! Aku tidak butuh!”
“ Kiran,kamu muslimah,sudah dewasa pula. Kalau kamu tetap
seperti ini,kasihan orangtua mu. Mereka akan menanggung akibatnya!”
Kesabaran ku benar-benar sudah habis. Apa maunya cowok
ini. Apa hak nya selalu menceramahi ku. Kalau dia tidak mau melihat foto-foto
yang aku pasang tinggal hapus saja pertemanan itu,gampang kan? Dan sekarang dia
membawa nama orangtua ku. Sebentar lagi dia pasti akan bilang kalau orangtua ku
tidak berhasil mendidik anak!
“ Heh,kamu pikir hati manusia bisa diukur dengan jilbab?
Kamu yakin semua wanita yang berjilbab itu baik? Tidak lagi melakukan dosa? Pasti
masuk surga? Dengar ya baik-baik. Kamu boleh menceramahi ku kalau sudah tidak
ada lagi wanita berjilbab yang berbuat dosa. Mending kamu khotbah di Taman Sari
atau di parkiran Amplaz,kemarin aku lihat wanita berjilbab sedang ciuman di
sana!”
Puas! Puas sekali rasanya membeberkan keburukan wanita
berjilbab namun masih suka melakukan hal-hal menjijikan di depan umum. Puas
sekali melihat Doni kehabisan kata-kata. Aku tersenyum,senyum kemenangan! Ku
balikkan badan, dengan bangganya meninggalkan Doni yang terpaku,termakan
omongannya sendiri. Namun ternyata dugaan ku salah. Suara lembut di barisan
kursi paling belakang menyapa ku dengan kalimat Allah. Kenapa aku tidak sadar
kalau ada orang selain aku dan Doni? Ahh,bodoh sekali!
“ Hai Nabi,katakanlah kepada istri-istrimu,anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya,yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal,karena itu mereka
tidak mudah di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ku urungkan niat untuk segera pergi,entah mengapa pemilik
suara lembut itu seketika menyihir hati ku. kalimat yang baru saja dia ucapkan
sangat menarik perhatian ku. belum sempat aku menoleh,pemilik suara itu sudah
berada di belakang ku,menyentuh lembut bahu ku dengan jemarinya yang indah. Aku
menatap nya. Hitam manis,tidak cantik,tidak tinggi,namun wajahnya bersinar.
Dari mana asal sinar itu? Apakah dia perawatan wajah di salon yang elite?
Aku akan bertanya nanti.
“Avi…”
Aku langsung menyambut uluran tangannya.
“ Senang berkenalan dengan mu Kiran. Sebelumnya maafkan
aku karena telah lancang mencampuri urusan mu dengan Doni!” katanya sambil
melirik kearah Doni yang masih diam terpaku.
Aku hanya mengangguk. Mata ku terus memperhatikan Avi
dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia hanya gadis biasa,tapi mengapa saat
menatap matanya ada sesuatu yang menarik. Matanya memancarkan
kecantikan,kebaikan,kelembutan,dan kedamaian. Berbeda sekali dengan Doni yang
terlihat menyeramkan,matanya tidak menawarkan persahabatan melainkan
permusuhan. Aku benci Doni!
“ Saudara ku,jilbab adalah kewajiban setiap wanita muslim
yang sudah akil baligh. Menutup aurat adalah amalan dan mengumbarnya
merupakan dosa. Apa yang kamu katakan memang benar,tidak semua wanita berjilbab
baik akhlaknya. Namun ketahuilah Kiran,jilbab dan akhlak itu dua hal yang
berbeda. Jilbab kewajiban dan akhlak itu sifat dalam diri manusia. Jilbab bisa
memperbaiki akhlak seseorang,namun bagi wanita yang belum bisa memperbaiki
akhlak nya padahal ia sudah mengenakan jilbab,dia hanya butuh waktu saja. Seorang
yang memiliki akhlah baik dan hati mulia pasti mengenakan jilbab untuk menambah
ketakwaannya kepada Allah.”
Aku terdiam,mendengarkan dengan khidmat setiap kata yang
meluncur dari bibir Avi. Aneh,tidak ada niat menyanggah ucapannya. Tidak ada
perasaan marah. Bahakan aku mulai meragukan akhlak ku sendiri. Benarkan aku
sudah menjalankan kewajibanku? Bahkan untuk sholat lima waktupun masih sering
ku tinggalkan. Aku sedikit kecewa saat Avi pamit,hati ku ingin menahannya dan
mengajaknya berbincang lebih lama. Namun Avi harus segera pergi. Doni pun
melangkah keluar,meninggalakan aku yang terpaku sendiri. Memikirkan kalimat-kalimat
yang tadi ku dengar. Memandangi diriku dari dalam. Inikah yang selama ini aku
banggakan? Baju seksi tanpa lengan dan celana pendek diatas lutut? Akankah aku pertahankan?
Setiap hari aku selalu memperhatikan Avi. Sejak kejadian
itu aku tidak pernah berbincang-bincang dengan Avi. Jika kami bertemu hanya
senyuman yang berbicara. Diam-diam aku selalu mengamati Avi. Aku mengamati
pakaiannya yang selalu rapi. Dia tidak pernah memakai jeans ketat ataupun baju
kaos. Rok panjang longgar dan baju kemeja selalu berhasil membuat dirinya
terlihat dewasa dan berwibawa. Cara bergaul nya pun tidak bebas,dia tidak pernah
menjabat tangan laki-laki. Terkadang aku senyum sendiri melihatnya. Mungkin
kalau aku laki-laki,aku pasti sudah jatuh cinta pada Avi.
Selain belajar dari mengamati keseharian Avi,aku juga
banyak mendengarkan nasehat dosen. Dosen di kampus ku selalu menyisipkan pesan
spiritual di sela-sela pembelajaran. Dari situlah peperangan mulai terjadi
dalam diri ku. Batin ku menolak ketika terlintas niat untuk mengenakan jilbab. Aku
tidak tahu apakah semua wanita mengalaminya. Namun bagi ku,pribadi yang
dibesarkan tanpa mengenal jilbab lebih dalam sungguh sangat sulit rasanya.
Godaan baju tanpa lengan dan celana di atas lutut merupakan cobaan yang besar.
Satu yang kini harus aku syukuri,setiap pagi aku harus mengenakan jilbab saat
pergi kuliah. Dari situlah aku belajar membiasakan diri. Untuk melatih
kebiasaan baru ini,aku betah menghabiskan waktu di kampus sampai sore. Saat jam
kuliah habis maka aku akan pergi ke perpustakaan. Semua aku lakukan agar tidak
ada kesempatan untuk membuka jilbab karena masih berada di lingkungan kampus. Allah,terima
kasih telah memberikan hidayah Mu lewat Avi. Inilah perubahan hidup yang ku
dapat dari kampus orange. Kampus yang mengusung nama Kyai legendaris. Ahmad
Dahlan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar