Kamis, 12 Maret 2015

cerpen " Mbah Lasih "



          Sebut saja namanya mbah Lasih. Tubuhnya renta, untuk berdiripun harus ditopang oleh tongkat kaju berbentuk huruf  J terbalik. Mbah Lasih sudah berumur delapan puluh sembilan tahun. Beliau tinggal di gubuk tua peninggalan mendiang suaminya. Gubuk itu penuh dengan tambalan kulit kayu,beralaskan tanah merah khas daerah perbukitan. Saat hujan turun mbah Lasih selalu duduk di sudut gubuk untuk berteduh,maklum hampir seluruh bagian gubuk bocor. Sehari-hari mbah Lasih hanya bekerja di kebun sayur milik tetangganya. Karena sudah tua tenaganya pun tidak sebanding dengan pekerja yang masih muda sehingga mbah Lasih harus ikhlas dengan upah yang  juga hanya setengah. Selain itu mbah Lasih juga menggantung hidupnya dengan membuka jasa pijit. Seiring dengan kemajuan zaman,jasa pijit mbah Lasih pun semakin sepi.
          Sebenarnya mbah Lasih punya seorang anak lelaki yang bernama Nurman. Namun Nurman sudah berkeluarga,hidup di kampung sebelah bersama istri dan dua orang anaknya. Selain tidak ingin membebani anaknya, mbah Lasih sangat takut kepada Yumi, istri Nurman.
          Hujan turun lagi. Memberikan energi baru kepada setiap nafas yang hidup di tanah. Daun-daun menari mengikuti arah angin, menyambut turunnya rintik-rintik air penuh suka cita. Mabh Lasih, seperti biasa duduk di pojokan rumah menatap atap-atap gubuk yang sama renta dengan dirinya. Barisan rayap memenuhi tiang penyangga rumahnya, mbah Lasih menggelengkan pelan kepalanya.
          “ Aku harus bicara pada Nurman siapa tahu dia bisa meluangkan sedikit waktunya untuk memperbaiki atap gubuk ini dan mengganti tiang penyangga. Akhir-akhir ini hujan turun sangat deras, anginnya kencang pula, bisa-bisa aku mati tertimpa reruntuhan gubuk!”
          Setelah bicara seperti itu tiba-tiba saja mbah Lasih menangis. Air matanya tak jauh lebih deras dari hujan di luar sana. Perlahan ia menyeka air mata itu dengan ujung jemari yang tinggal tulang berbalut kulit renta. Sudut matanya kini terbingkai kerutan-kerutan penua. Bibirnya bergetar.
          “ Ohh Nurman, semoga sikap Yumi selalu baik kepada mu, cukup ibu saja yang sering dimaki nya…”
          Ibarat bioskop ,mata mbah Lasih yang gelap kini memutar kenangan buruk yang ditorehkan oleh menantu satu-satunya itu.
          Yumi dipersunting oleh Nurman atas kehendak mbah Lasih sendiri. Mbah Lasih mengenal Yumi di kebun sayur, mereka sama-sama pekerja waktu itu. Dulu Yumi sangat baik kepada mbah Lasih, sehabis memetik sayuran mereka sering menghabiskan waktu berdua untuk sekedar bercerita. Selain itu mbah Lasih juga iba karena ternyata Yumi hidup sebatang kara di dunia ini. Orangtua Yumi sudah lama meninggal akibat kecelakaan di kebun karet. Yumi yang masih kecil tinggal bersama neneknya, namun setelah kepergian neneknya paman dan bibi Yumi malah menjual rumah peninggalan almarhumah. Sejak itulah hidup Yumi hanya di habiskan sebagai buruh pemetik sayur dan tinggal di pabrik pengepakan sayur. Tanpa berfikir panjang lagi mbah Lasih memperkenalkan Yumi kepada anak nya Nurman. Merasa ada kecocokan, akhirnya pesta kecil-kecilan di langsungkan sebagai ucapan selamat atas terbentuknya keluarga baru.
          Lama-kelamaan sikap Yumi berubah kepada mbah Lasih. Yumi sering memarahi mbah Lasih jika ada pekerjaan rumah yang belum selesai. Apalagi saat mbah Lasih makan lebih awal, tak hentihentinya Yumi memaki mertuanya itu.
          “ Kalau sebentar-bentar makan yang capek  aku  Bu. Gaji anakmu hanya cukup untuk makan dua kali sehari. Bisa sih tiga kali, tapi jika tidak ada kamu!”
          Terngiang jelas kata-kata yang sering di ucapkan Yumi. Nurman sebenarnya melarang mbah Lasih untuk bekerja, namun karena gertakan dari menantunya mbah Lasih terpaksa harus bekerja. Akhirnya entah pengaruh apa yang sudah di berikan Yumi, Nurman pamit pindah ke desa sebelah. Alasannya adalah Roby anaknya sebentar lagi akan masuk sekolah. Kampung sebelah lebih dekat. Dengan hati yang teriris akhirnya mbah Lasih merelakan kepergian anak, menantu, dan dua cucunya Robi serta Lisa. Sejak saat itu hanya Nurman saja yang seminggu sekali dating menjenguk Mbah Lasih. Walaupun anaknya hanya datang dengan tangan kosong namun mbah Lasih sangat senang. Namun menantu dan kedua cucunya tidak pernah datang menjenguk mbah Lasih, itu sebabnya mbah Lasih sering sekali menangis saat Nurman pulang. Sebagai seorang nenek tentunya ia sangat rindu kehadiran cucunya. Ia juga rindu harumnya dapur oleh aroma masakan si menantu. Sesungguhnya mbah Lasih tidak minta harta benda atau kedudukan, di usianya yang semakin menua ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama anak cucunya saja. Namun apa boleh dikata, kelakuan Yumi sama hal nya seperti air susu di balas dengan air tuba. Tak adarasa terimakasih kepada orangtua yang sudah mengangkat hidupnya.
          Pernah mbah Lasih datang kerumah anaknya untuk sekedar bertamu, namun Yumi segera mengusir dengan alasan ingin menghadiri rapat di sekolahan Robi. Kalau bukan rapat, Yumi hanya diam seribu bahasa, tidak ingin menanggapi omongan ibu mertuanya. Sering kali mbah Lasih pulang dengan membawa air mata yang menggenang di pelukup matanya.
          Hujan semakin deras saja, angin pun bertiup kencang. Tiang penyangga rumah mbah Lasih mulai bergoyang.
          “ Astagfirullahhalazim…” ucap mbah Lasih sambil menyeka seluruh airmata yang membasahi pipinya.
          Mbah Lasih langsung bangkit dari tempat duduknya. Atap rumah kini hampir di terbangkan oleh angin. Lantai rumah mbah Lasih mulai becek akibat tetesan air. Tongkat yang selalu menemani tiap langkah kaki mbah Lasih mulai susah di gerkakkan. Berkali-kali tenggelam meninggalkan lobang kecil di lantai tanah.
          “Gusti, semoga Nurman datang kemari, aku takut sekali. Rumah ini seperti ingin menelan ku!”
          Mbah Lasih melangkah pelan-pelan menghampiri tiang penyangga yang terletak di tengah-tengah rumah. Mata redup nya mengamati setiap bagian dari kayu bulat sebesar lengan orang dewasa.
                              
         “ Mendiang suamiku maafkan aku karena tidak bisa menjaga gubuk tercinta cinta ini!”
      
           Tiang rumah dari bambu itu semakin sering bergoyang, akibatnya atap gubuk tidak lagi rapat melainkan sudah sangat berantakan. Bocor semakin banyak, air kini sudah mengenai tubuh mbah Lasih. Tanpa di duga angin datang lagi dan kini semakin kencang. Tiang penyangga roboh, mbah Lasih jatuh tersugkur di timpa reruntuhan atap dan kayu. Pelipisnya berdarah. Kini tubuh tua itu menyatu dengan sang hujan. Raga yang mati mengenaskan. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Sampai disinilah hidup orangtua itu. Meninggalakan banyak luka dan kepedihan.
Jasad mbah Lasih dimakamkan tepat di samping makam mendiang suaminya. Nurman yang kini diselimuti kepedihan hanya bisa termangu sambil menatap nisan ibu nya. Tarjo yang mengurus pemakaman mbah Lasih memanggil Nurman untuk datang kerumahnya karena ada yang ingin disampaikan. Nurman menarik nafas panjang, dengan apa ia akan membayar hutang ibunya itu, Yumi pasti akan marah besar.

Langkah gontai tanpa semangat membawa Nurman sampai ke rumah Tarjo. Tarjo ternyata sudah menunggu dari tadi. Setelah duduk berhadapan dengan Tarjo tanpa pikir panjang Nurman langsung berkata,
“ Jo, aku belum bias membayar hutanghutang ibu ku!”
Tarjo menatap Nurman dengan senyuman tipis.
“ Ibu mu tidak punya hutang dengan siapapun Man. Justru aku ingin memberikan uang untukmu. Ini tabungan ibu mu yang aku temukan di dalam tiang bambu yang menimpa tubuh ibu mu. Di sisi bambu itu tertulis tabungan untuk kamu!”

Nurman meraih potongan bambu yang di berikan oleh Tarjo. Didalamnya ada pecahan-pecahan uang yang berjumlah dua juta tujuh ratus ribu rupiah. Air mata Nurman langsung menyeruak. Begitu besar kasih sayang ibunya itu. Seharusnya Nurman yang menyiapkan tabungan untuk ibunya, namun di sela-sela kehidupan yang mencekik malah ibunya yang menyiapkan tabungan untuk nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar