Sebut saja
namanya mbah Lasih. Tubuhnya renta, untuk berdiripun harus ditopang oleh
tongkat kaju berbentuk huruf J terbalik.
Mbah Lasih sudah berumur delapan puluh sembilan tahun. Beliau tinggal di gubuk
tua peninggalan mendiang suaminya. Gubuk itu penuh dengan tambalan kulit
kayu,beralaskan tanah merah khas daerah perbukitan. Saat hujan turun mbah Lasih
selalu duduk di sudut gubuk untuk berteduh,maklum hampir seluruh bagian gubuk
bocor. Sehari-hari mbah Lasih hanya bekerja di kebun sayur milik tetangganya. Karena
sudah tua tenaganya pun tidak sebanding dengan pekerja yang masih muda sehingga
mbah Lasih harus ikhlas dengan upah yang juga hanya setengah. Selain itu mbah Lasih
juga menggantung hidupnya dengan membuka jasa pijit. Seiring dengan kemajuan zaman,jasa
pijit mbah Lasih pun semakin sepi.
Sebenarnya
mbah Lasih punya seorang anak lelaki yang bernama Nurman. Namun Nurman sudah
berkeluarga,hidup di kampung sebelah bersama istri dan dua orang anaknya.
Selain tidak ingin membebani anaknya, mbah Lasih sangat takut kepada Yumi, istri
Nurman.
Hujan turun
lagi. Memberikan energi baru kepada setiap nafas yang hidup di tanah. Daun-daun
menari mengikuti arah angin, menyambut turunnya rintik-rintik air penuh suka
cita. Mabh Lasih, seperti biasa duduk di pojokan rumah menatap atap-atap gubuk
yang sama renta dengan dirinya. Barisan rayap memenuhi tiang penyangga
rumahnya, mbah Lasih menggelengkan pelan kepalanya.
“ Aku harus bicara
pada Nurman siapa tahu dia bisa meluangkan sedikit waktunya untuk memperbaiki
atap gubuk ini dan mengganti tiang penyangga. Akhir-akhir ini hujan turun
sangat deras, anginnya kencang pula, bisa-bisa aku mati tertimpa reruntuhan
gubuk!”
Setelah bicara
seperti itu tiba-tiba saja mbah Lasih menangis. Air matanya tak jauh lebih
deras dari hujan di luar sana. Perlahan ia menyeka air mata itu dengan ujung
jemari yang tinggal tulang berbalut kulit renta. Sudut matanya kini terbingkai
kerutan-kerutan penua. Bibirnya bergetar.
“ Ohh Nurman, semoga
sikap Yumi selalu baik kepada mu, cukup ibu saja yang sering dimaki nya…”
Ibarat bioskop
,mata mbah Lasih yang gelap kini memutar kenangan buruk yang ditorehkan oleh
menantu satu-satunya itu.
Yumi
dipersunting oleh Nurman atas kehendak mbah Lasih sendiri. Mbah Lasih mengenal
Yumi di kebun sayur, mereka sama-sama pekerja waktu itu. Dulu Yumi sangat baik
kepada mbah Lasih, sehabis memetik sayuran mereka sering menghabiskan waktu
berdua untuk sekedar bercerita. Selain itu mbah Lasih juga iba karena ternyata
Yumi hidup sebatang kara di dunia ini. Orangtua Yumi sudah lama meninggal
akibat kecelakaan di kebun karet. Yumi yang masih kecil tinggal bersama
neneknya, namun setelah kepergian neneknya paman dan bibi Yumi malah menjual
rumah peninggalan almarhumah. Sejak itulah hidup Yumi hanya di habiskan sebagai
buruh pemetik sayur dan tinggal di pabrik pengepakan sayur. Tanpa berfikir
panjang lagi mbah Lasih memperkenalkan Yumi kepada anak nya Nurman. Merasa ada
kecocokan, akhirnya pesta kecil-kecilan di langsungkan sebagai ucapan selamat
atas terbentuknya keluarga baru.
Lama-kelamaan
sikap Yumi berubah kepada mbah Lasih. Yumi sering memarahi mbah Lasih jika ada
pekerjaan rumah yang belum selesai. Apalagi saat mbah Lasih makan lebih awal, tak
hentihentinya Yumi memaki mertuanya itu.
“ Kalau
sebentar-bentar makan yang capek aku Bu. Gaji anakmu hanya cukup untuk makan dua
kali sehari. Bisa sih tiga kali, tapi jika tidak ada kamu!”
Terngiang
jelas kata-kata yang sering di ucapkan Yumi. Nurman sebenarnya melarang mbah
Lasih untuk bekerja, namun karena gertakan dari menantunya mbah Lasih terpaksa
harus bekerja. Akhirnya entah pengaruh apa yang sudah di berikan Yumi, Nurman
pamit pindah ke desa sebelah. Alasannya adalah Roby anaknya sebentar lagi akan
masuk sekolah. Kampung sebelah lebih dekat. Dengan hati yang teriris akhirnya
mbah Lasih merelakan kepergian anak, menantu, dan dua cucunya Robi serta Lisa.
Sejak saat itu hanya Nurman saja yang seminggu sekali dating menjenguk Mbah Lasih.
Walaupun anaknya hanya datang dengan tangan kosong namun mbah Lasih sangat
senang. Namun menantu dan kedua cucunya tidak pernah datang menjenguk mbah
Lasih, itu sebabnya mbah Lasih sering sekali menangis saat Nurman pulang.
Sebagai seorang nenek tentunya ia sangat rindu kehadiran cucunya. Ia juga rindu
harumnya dapur oleh aroma masakan si menantu. Sesungguhnya mbah Lasih tidak minta
harta benda atau kedudukan, di usianya yang semakin menua ia hanya ingin
menghabiskan waktu bersama anak cucunya saja. Namun apa boleh dikata, kelakuan
Yumi sama hal nya seperti air susu di balas dengan air tuba. Tak adarasa
terimakasih kepada orangtua yang sudah mengangkat hidupnya.
Pernah mbah
Lasih datang kerumah anaknya untuk sekedar bertamu, namun Yumi segera mengusir
dengan alasan ingin menghadiri rapat di sekolahan Robi. Kalau bukan rapat, Yumi
hanya diam seribu bahasa, tidak ingin menanggapi omongan ibu mertuanya. Sering
kali mbah Lasih pulang dengan membawa air mata yang menggenang di pelukup matanya.
Hujan semakin
deras saja, angin pun bertiup kencang. Tiang penyangga rumah mbah Lasih mulai
bergoyang.
“
Astagfirullahhalazim…” ucap mbah Lasih sambil menyeka seluruh airmata yang
membasahi pipinya.
Mbah Lasih
langsung bangkit dari tempat duduknya. Atap rumah kini hampir di terbangkan
oleh angin. Lantai rumah mbah Lasih mulai becek akibat tetesan air. Tongkat
yang selalu menemani tiap langkah kaki mbah Lasih mulai susah di gerkakkan.
Berkali-kali tenggelam meninggalkan lobang kecil di lantai tanah.
“Gusti, semoga
Nurman datang kemari, aku takut sekali. Rumah ini seperti ingin menelan ku!”
Mbah Lasih
melangkah pelan-pelan menghampiri tiang penyangga yang terletak di
tengah-tengah rumah. Mata redup nya mengamati setiap bagian dari kayu bulat
sebesar lengan orang dewasa.
“ Mendiang suamiku maafkan aku karena
tidak bisa menjaga gubuk tercinta cinta ini!”
Tiang rumah dari bambu
itu semakin sering bergoyang, akibatnya atap gubuk tidak lagi rapat melainkan
sudah sangat berantakan. Bocor semakin banyak, air kini sudah mengenai tubuh mbah
Lasih. Tanpa di duga angin datang lagi dan kini semakin kencang. Tiang
penyangga roboh, mbah Lasih jatuh tersugkur di timpa reruntuhan atap dan kayu.
Pelipisnya berdarah. Kini tubuh tua itu menyatu dengan sang hujan. Raga yang
mati mengenaskan. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Sampai disinilah
hidup orangtua itu. Meninggalakan banyak luka dan kepedihan.
Jasad mbah Lasih dimakamkan tepat di
samping makam mendiang suaminya. Nurman yang kini diselimuti kepedihan hanya
bisa termangu sambil menatap nisan ibu nya. Tarjo yang mengurus pemakaman mbah
Lasih memanggil Nurman untuk datang kerumahnya karena ada yang ingin disampaikan.
Nurman menarik nafas panjang, dengan apa ia akan membayar hutang ibunya itu,
Yumi pasti akan marah besar.
Langkah gontai tanpa semangat membawa
Nurman sampai ke rumah Tarjo. Tarjo ternyata sudah menunggu dari tadi. Setelah
duduk berhadapan dengan Tarjo tanpa pikir panjang Nurman langsung berkata,
“ Jo, aku belum bias membayar
hutanghutang ibu ku!”
Tarjo menatap Nurman dengan senyuman
tipis.
“ Ibu mu tidak punya hutang dengan
siapapun Man. Justru aku ingin memberikan uang untukmu. Ini tabungan ibu mu
yang aku temukan di dalam tiang bambu yang menimpa tubuh ibu mu. Di sisi bambu
itu tertulis tabungan untuk kamu!”
Nurman meraih potongan bambu yang di
berikan oleh Tarjo. Didalamnya ada pecahan-pecahan uang yang berjumlah dua juta
tujuh ratus ribu rupiah. Air mata Nurman langsung menyeruak. Begitu besar kasih
sayang ibunya itu. Seharusnya Nurman yang menyiapkan tabungan untuk ibunya, namun
di sela-sela kehidupan yang mencekik malah ibunya yang menyiapkan tabungan untuk
nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar