Senin, 13 Januari 2014

Puisi " Tuhan"



Tuhan…
          Ingin aku tersenyum…
          Menghadapi dunia permainan ini,
          Ingin pula aku menangis…
          Dikala ingat,menyakitkan dunia boneka ini.
Tuhan…
          Bukan kah buah tidak akan pernah ada tanpa akar,
          Mustahil kehidupan akan ada tanpa air dan udara,
          Lalu,ilalang pun kau ciptakan berkelompok agar mereka terus          bersama, HIDUP dan MATI!!!
Tuhan…
          Aku tau,
          Perjalanan hidup masih panjang untuk mencapai surgamu,
          Udara yang kau anugrahkan untuk ku belum habis,
          Nyawa di raga ku masih engkau izinkan untuk menemani setiap       langkah kaki ini…
Tuhan…
          Aku ingin bernyanyi,
          Bersama pelangi yang indah itu
          Aku ingin berpuisi
          Bersama senja petang itu
          Aku ingin tertawa
          Bersama sang mentari
          Aku ingin canda gurau
          Bersama bulan dan bintang
          Lalu pada akhirnya,
          Aku tahu
          Akan ada tangisan bersama sang hujan besok!!!

Cerpen " Cinta Sejati di Lembah Kunang-Kunang



Cinta sejati di lembah kunang-kunang
12 November 2013 pukul 19:44
Solo. Tawangmangu di lereng gunung Lawu.
Aku bertemu dia.
Laki-laki yang berbeda,sangat beda.
Rizal. Namanya Rizal.
Dia seorang pemilik hotel di sana,pembisnis muda yang sangat berwibawa.
Aku tak mengerti mengapa dia mau mengabdikan hidupnya di desa terpencil yang menyimpan banyak keindahan ini. Dia hanya menjawab,
" Bahagia itu adalah ketika hati kita bebas!"
Aku seorang mahasiswi KKN yang magang di sebuah puskesmas kecil. Rizal berpengaruh besar dalam desa ini,dia tidak hanya membuat masyarakat jatuh cinta,namun juga alam sekitar yang sangat di kuasainya. Dia pensupport pembangunan berkelanjutan,selain itu dia juga menggalang kelompok tani agar lebih makmur. Donatur di sekolah melarat,dia...dia...dia segalanya untuk semua yang ada di sini.
Semua terjadi begitu saja,
aku masih ingat ketika mobil ku hampir menabrak Rizal yang sedang memperbaiki motornya di samping jalam kecil.
Waktu itu aku marah-marah,dan Rizal hanya diam memperhatikan ku. Aku langsung pergi tanpa pamit. Betapa kagetnya aku ketika tahu siapa yang telah menyediakan hunian mewah lengkap dengan pembantunya. Siapa orang yang menyambut kedatangan ku dengan pesta kecil disebuah saung pinggir hotel yang indah. Ohh…tidak!!! Aku merasa tak enak hati.
          Akhirnya aku berkenalan dengan dia,
“ Rizal,Rizaldi Stevano”,waktu itu ada senyum manis yang tersungging di ujung bibirnya.
Aku menyambut uluran tangan itu dengan hangat,
“ Puri,Puri Grecia” kata ku pelan lalu membalas senyuman nya.
          Hunian ku tidak terlalu jauh dari rumah Rizal,dari balkon kamar ku,aku bisa melihat taman rumah Rizal. Biasanya dia selalu duduk disana setiap malam,membawa catatan dan sebuah laptop. Aku tidak heran,dia seorang pembisnis,apalagi yang akan dia kerjakan kalau bukan menghitung pengeluaran,pamasukan,laba kotor dan laba bersih. Aku senang memandangi punggungnya dari jauh.
          Rizal juga selalu memandang ku dari jauh,ketika ia berhasil menemukan aku di balkon kamar,maka dia akan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku segera turun menghampirinya. Sejak itu,hubungan kami semakin dekat saja,aku bahagia berada di samping nya.
          Setiap jam makan siang,Rizal sudah ada di depan puskesmas menjemput ku. Kami biasa makan siang bersama. Lalu jam tiga sore Rizal juga datang ke puskesmas,kali ini untuk menjemput ku pulang bersama. Aku tidak pernah lagi membawa mobil,selain bermasalah dengan jalan yang curam rasanya aku lebih senang berboncengan dengan direktur hotel muda ini naik motor bebek.
          Rizal bebeda sekali,seperti yang sudah aku katakan. Harta dan gemerlap kehidupan kota tidak membuat matanya silau. Dia lebih tertarik tinggal di alam yang sangat natural. Dia selalu bersikap sopan,siapapun akan di tegurnya,tidak ada pembatas antara dia dan warga kampung. Apalagi dengan para karyawan hotelnya,mereka seperti satu keluarga.
          Malam ini malam minggu,aku duduk di ruang televisi,mengotak-atik stasiun,siapa tahu ada acara bagus. Tidak ada! Semuanya membosankan. Aku berbalik hendak pergi ke gazebo,melihat pemandangan yang selalu membuat hatiku damai. Aku serentak kaget,ketika Rizal berdehem tepat berada di belakang ku. Kali ini dia datang untuk mengajak ku melihat lembah kunang-kunang di balik bukit. Kami tidak naik motor,selain udara yang dingin,Rizal juga ingin membawa bermacam-macam makanan agar semakin menyenangkan nantinya. Aku mengganti hot pen dengan celana jins dan baju kaos biasa. Ketika hendak keluar kamar,aku segera menyambar baju hangat di balik pintu,memandang cermin sebentar lalu tersenyum. Aku cantik,sudah cukup cantik! Aku berlari ke luar rumah sambil cengar-cengir.
“ Ada apa Puri?” tanya Rizal yang mungkin heran melihat ku cengar-cengir.
Aku mengeleng pelan lalu menunduk malu,aku berani jamin waktu itu pipiku merah merona saking bahagianya. Makanya aku nunduk,jangan sampai Rizal tahu!
          Perjalanan kami tempuh sekitar empat puluh lima menit,dan betapa takjubnya aku katika melihat kebawah. Ada ribuan cahaya yang terbang kesana dan kemari. Aku berteriak kegirangan,Rizal juga terlihat sangat bahagia. Dia menatapku,dan tersenyum. Rizal menggandeng tanganku,perlahan kami menuruni tebing curam itu. tidak bisa ku lukiskan dengan kata-kata bagaimana indahnya saat kami sampai di bawah lembah. Aku dan Rizal seperti mandi cahaya. Rizal langsung mengeluarkan hadycam nya,merekam pemandangan itu. kami lalu berfoto berdua,bisa dibilang pose yang mesra.
          Kami lalu kembali ke mobil,masih dalam keadaan takjub dan bahagia. Rizal menyarahkan sebotol coca cola yang tidak dingin,kami lalu bercerita sambil menikmati minuman serta makanan yang dibawa oleh Rizal.
          Aku kaget ketika Rizal bertanya soal pacar,bukannya aku keberatan namun aku tidak ingin membuka tabir kelam setahun yang lalu. Aku hanya diam,menimbang-nimbang apakah akan berterus terang atau tetap diam.
          Rio,kakak tingkat kedokteran sekarang sudah lulus dan membuka praktik di kota Solo. Laki-laki yang sangat aku benci,seumur hidupku. Sungguh! Bagaimana tidak,dia menghancurkan hubungan persaudraan yang sudah lama ku bangun. Aku tidak tahu pasti apa yang telah terjadi,namun Rio pacaran denganku juga dengan sepupuku Merlyn. Merlyn setengah mati membenciku sampai hari ini,padahal yang sebenarnya merebut itu adalah Merlyn,bukan aku. Tanggal jadiannya pun masih tuaan aku di banding dia. Gila,sungguh gila. Aku sangat yakin semua terjadi ketika aku study banding ke Munchen selama satu semester,Merlyn diminta mama untuk menemani beliau di rumah. Rio sering datang kerumah ku untuk keperluan mencari buku-buku yang aku perlukan pada saat di Munchen,mungkin saat itulah mereka bertemu dan akhirnya berpacaran. Rio cowok brengsek dan gak akan pernah bisa dipercaya,dan Merlyn,ohh malang dia korban srigala berjas dokter itu.
          Aku menceritakan semuanya kepada Rizal tanpa setitik air matapun,seolah-olah aku tidak pernah punya kenangan manis bersama Rio. Padahal sangat banyak sekali. Untuk apa aku menangisi srigala berjas dokter itu,mubazir. Aku hanya merindukan Merlyn,aku rindu tingkahnya yang sangat lucu itu,aku rindu jalan-jalan bersamanya dan melakukan banyak aktivitas lainnya bersama dengannya. Tiba-tiba saja air mataku mengalir ketika aku ingat Merlyn,dia saudara sekaligus sahabat dalam hidup ku.
Saat ini aku sudah tenggelam dalam pelukan Rizal,aku menangis dan dia menenangkanku.
“ Hak itu akan kembali pada empunya,tidak akan bertahan lama disamping orang asing. Jangan pernah berhenti mempercayai cinta,suatu hari nanti kamu akan bertemu dengan orang yang benar-benar mencintaimu. Jodoh itu adalah cerminan sikap diri kita,aku yakin Tuhan telah menyiapkan jodoh yang sangat baik untukmu,seperti sifat mu. Merlyn,dia akan segera sadar tentang dokter berjas srigala itu!”
Aku mendongakkan wajah menatap Rizal. Rizal juga menatapku.
“ kamu terpukau dengan kata-kataku barusan?” tanyanya GR.
Aku menggeleng lalu berkata,
“ srigala berjas dokter bukannya dokter berjas srigala…”
Kami lalu tertawa lagi,dan malam semakin larut.
          Tidak terasa,minggu depan aku akan segera pulang ke Jakarta. Masa PPL ku telah berakhir. Aku mengahbiskan lebih banyak waktu untuk berkumpul dengan warga dan teman-teman baru ku di puskesmas. Aku juga tetap menghabiskan waktu makan siang bersama Rizal. Aku lebih senang ngobrol dengan orang-orang dibanding harus tiduran dikamar.
          Tadi siang pak Tajo menyerahkan tiket pesawat untuk keberangkatan ku besok. Malam ini aku sudah janji dengan Rizal untuk jalan bareng. Kami pergi menuruni bukit,menjauh dari keramaian hotel. Saat mobil kami sampai di bawah ,Rizal menghentikan lajunya. Dia mengajakku keluar dan duduk di depan mobil sambil menatap keujung gunung Lawu yang tepat berada di depan kami. Sebelah kiri kami hotel Rizal terlihat sangat indah,seperti kerajaan dalam film Princess.
“ kamu suka Puri?”
Aku mengagguk,” Sangat suka!”
“ Maukah kamu tinggal selamanya disana bersama ku?” tanya Rizal dengan mata yang tidak lepas dari wajahku.
Sungguh jantungku berdetak lebih kencang,aku bingung. Apa maksudnya? Aku bukan perempuan yang tidak peka,namun aku tidak mau salah tanggap atau terlalu berharap. Maka dari itu aku memberanikan diri bertanya,” Maksudnya?”
“ menikahlah denganku Puri,aku jatuh cinta padamu sejak kamu melemparkan busi motor ku ke lereng curam sambil berteriak marah.sungguh!”
Aku benar-benar malu sekaligus senang. Itu perlakuan bodoh yang mengantarkan aku pada cinta.
“ Rizal,tunggulah aku menjadi seeorang sarjana,lalu aku akan kembali menemanimu di istana itu…” kata ku sambil menunjuk Hotel.
“ kenapa? Kenapa harus seperti itu,aku akan datang ke Jakarta setiap minggu untuk menemui mu….”
“ aku tidak mau,cinta akan mengantarkan kita sampai pada titik dimana dia akan menghentikan waktu,percalah. Aku akan segera kembali menemui mu….tidak lama lagi…”
“ dan aku akan menyambut mu dengan pesta pernikahan,iya kan Puri…”
“ tentu,aku sangat senang!” jawabku sambil memeluk lengan Rizal.
Rizal mengusap lebut rambutku,dia akan mengatarkan ku besok ke Bandara Adisumarmo,mobil sewaan ku akan di kembalikan oleh supir hotel,itu lebih baik dan aku masih punya waktu untuk bersama Rizal.
          Tidak bisa dirangkaikan dengan kata-kata atau perumpamaan apapun perpisahan kali ini. aku merasa sangat rindu sekali udara dingin Gunung Lawu,suasana malam dimana aku melihat Rizal sedang mengerjakan sesuatu,menghabiskan waktu bersama teman-teman serta warga sekitar,makan siang bersama,pulang dengan motor bebek sederhana dan lembah kunang-kunang,aku sangat merindukannya. Rizal hanya diam di depan bandara,tatapan matanya sudah cukup jelas menggambarkan kehilangan yang saat ini dia rasakan tanpa harus bicara. Aku menggenggam erat jemari tangannya,
“ satu tahun lagi,aku akan segera kembali,percayalah!”
Tanpa buang-buang waktu lagi aku segera menarik koperku dan masuk kedalam dandara untuk mengambil boarding pass. Aku tidak ingin terlalu lama melihat Rizal seperti itu,bisa-bisa aku tidak jadi pulang.
          Satu tahun,besok genap satu tahun aku berpisah dari Rizal. Aku menjalani kehidupan ku seperti biasa,ketika aku kangen dia aku akan selalu melihat foto kami berdua yang terpasang di mana-mana. Dalam mobil,dompet,ruang belajar,halaman buku dan bawah bantal. Aku memang sengaja melakukan ini semua,aku ingin tahu berapa besar cintaku padanya. Ternyata begitu besar,sampai-sampai aku tidak akan pernah bisa tidur sebelum melihat fotonya.
          Aku lulus dari fakultas kedokteran dengan nilai yang sangat memuaskan,bahkan aku dapat tawaran untuk mengambil program spesialis di Munchen,tempatku study banding dulu. Aku belum memberikan keputusan,keputusan akan aku ambil apabila sudah berbicara dengan calon suami ku. Aku senang dan bahagia,besok aku akan segera terbang ke Solo,lalu pergi ke istana kami. Malamnya sebelum tidur,aku mencoba menghubungi Rizal,namun gagal. Nomor teleponnya sudah mati. Perasaan aneh menyelimutiku. Namun segera ku tepis,aku pun terlelap.
          Tepat pukul satu siang aku mendarat di bandara Adisumarmo. Aku segera menyewa taxi ke tempat penyewaan mobil. Aku berniat menegndarai mobil sendiri. Perjalanan ke Tawangmangu aku tempuh selama  satu setengah jam. Sekarang mobilku sudah berada di halaman hotel. Aku berdandan sedikit,membetulkan letak slayerku. Aku lalu turun dengan anggun. Katika aku hendak melangkah memasuki lobi hotel,aku melihaT Rizal sedang menggendong anak bayi kira-kira berusia empat bulanan. Aku berlari menghampirinya,namun langkahku tercekat ketika seorang perempuan datang mendekati Rizal. Perempuan itu mengusap lembut kepala bayi lalu tersenyum pada Rizal. Begitupun sebaliknya. Samar-samar aku mendengar,” sekarang dia sudah besar,mirip seperti kamu ya Mas….”
Kakiku bergetar bahkan seluruh tubuh ku. Air mataku tak dapat di bendung lagi. Ingin rasanya aku berteriak. Hati ku perih dan sakit,bahkan lebih sakit dari pada Merlyn memaki ku. Aku membalikkan tubuh,berlari dengan tenaga yang tersisa,masuk kedalam mobil lalu menangis sekencang-kencangnya. Mobil ku laju begitu kencang,sangat kencang menuruni perbukitan. Hari itu juga aku pulang ke Jakarta,menyiapkan keberangkatan ku ke Munchen secepatnya.
          Tiga tahun setengan telah aku lewati di negeri bola ini,banyak pengalaman yang aku dapatkan. Sekarang aku sudah menyelesaikan study ku. Aku duduk di depan Botanischer Garten,taman seluas 22 hektar dengan 14.000 jenis tanaman yang sangat indah. Aku merenungi hidup ku,aku bersyukur di balik keperihan cinta terhadap Rizal dan Rio,aku masih di beri kesempatan untuk bahagia. Besok aku akan pulang ke Indonesia dan bertemu dengan mama,ayah juga janji akan pulang dinas dari Kalimantan. Kami akan berkumpul lagi. Aku menghirup udara ditempat ku sekarang,entah kapan lagi aku bisa menginjak Munchen,ibukota negara Bayern yang terletak di sebelah selatan Jerman. Aku pasti sangat merindukan negara yang telah meberikan gelar ternama untukku.
          Aku hampir saja menangis ketika menginjakkan kaki di tanah air,bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Mama dan ayah telah menunggu kepulangn ku. Aku emang tidak pernah pulang selama berada di Munchen,aku ingin melupakan Riza. Itu alasannya. Banyak sekali yang kami bicarakan,aku tidak henti-hentinya memeluk mama melepaskan rasa rinduku.
          Malam harinya aku dan keluargaku makan malam di sebuah resto favorit. Mama bilang beliau punya kejutan untukku,aku jadi tidak sabar. Saat aku sedang lahap-lahapnya menikmati santapan nusantara yang amat sangat aku rindukan. Bukan daging sapi yang Cuma tiga menit di atas oven,atau sayuran bercampur dengan mayones,nasi yang tertutup oleh lauk pauk sedemikian rupa,roti-roti yang membuatku muak selama hampir empat tahun. Kali ini aku makan nasi hangat,sambal ikan,ikan bakar dengan saos kecap,sayur lodeh,sayur asem,ada oseng-oseng mercon dan semua yang aku inginkan ada di hadapan ku. Aku hampir melompat tidak percaya ketika Rizal muncul dihadapan ku. Dia tersenyum,aku muak. Dia bertanya tentang kabar ku,aku buang muka. Dia memanggil nama ku,dan aku menatapnya sinis. Keluarga besarku sengaja pergi meninggalkan aku bersama Rizal,aku tahu itu. rasa sakit hati ku mulai menyeruak ke permukaan.
          Aku langsung menghujami mata Rizal dengan tatapan seganas singa lapar,yaa aku memang sedang lapar. Rizal tidak hanya mengusik hati ku,tapi juga perut ku yang bulum kenyang.
“ Aku tau kamu datang ke Hotel sehari sesudah kamu wisuda!” kata Rizal
Aku melotot,” tau dari siapa?”
“ pegawai lobi,aku mengejarmu,namun gagal. Kamu menghilang begitu saja. Kalau saja Zeno tidak sakit,mungkin kamu tidak akan berangkat ke Munchen,aku hanya telat tiga puluh detik saat pesawat membawamu terbang Puri!”
“ siapa Zeno?”
“ dia,anak kecil yang sangat lucu!”
Aku tersenyum picik,ternyata anak itu bernama Zeno,buah hati Rizal dengan perempuan itu.
“ selamat…” kataku pendek.
“ buat?” aku merasakan Rizal menatapku saat ini.
“ buat buah hati kalian dan untuk pernikahan kalian,maaf ngucapinnya telat!” jawaban ku sangat ketus.
“ apa?????” Rizal seperti mau melompat mendengar ucapan ku. Aku juga kaget.
“ maksud kamu apa Puri? Pernikaahan???”
Aku muak dengan lagaknya yang sok itu. aku membuang muka,
“ Zeno itu anakmu kan?”
“ what? No,dia keponakan ku,anak mbak ku Puri….jadi….”
Aku tidak kalah kaget.juga hampir melompat.
“ bohong,jangan bohong!” teriakku.
“ Astaga Puri,aku benar-benar belum menikah,ini KTP baru ku,statusnya masih single!” Rizal lalu menyodorkan KTP nya,aku hanya melirik sekilas.
Ada rasa senang dalam hatiku,mengetahui bahwa Rizal belum menikah apalagi punya anak. Salah paham,semuanya salah paham,dan dampaknya sangat besar. Namun aku bahagia,waktu empat tahun lebih telah membuktikan bahwa aku benar-benar mencintai Rizal dan Rizal selalu setia menunggu ku,dia bukan penghianat atau srigala berjas direktur. Aku tertawa,terbenam dalam pelukan hangat calon suami ku yang esok pagi akan menjadi suami ku. Kami mengingat semua kenangan,baik,buruk,manis,pahit,dan semua rasa di sini,di lembah kunang-kunang. Ada mitos bila bertemu cinta di Tawangmangu maka cinta itu akan abadi,selamanya. Entah sekarang jadi mitos atau fakta untuk ku dan Rizalku. Kunang-kunang berterbangan diatas kepala kami,menjadi bingkai cinya yang menyatu. Aku bahagia.

Cerpen Cinta " Cahaya"



CAHAYA
          Hari ini matahari enggan menampakkan dirinya. Langit kelam kali ini melukiskan kesedihan mendalam di hati pria yang sedang duduk menatap tetesan air hujan. Bola matanya redup,jiwa nya menjerit menahan rindu,hatinya menangis tiada henti,dan pikirannya melambung tinggi seakan menggapai angan masa lalu.
          “ Ivan….” Panggil Bu Nani pelan sambil memegang pundak anaknya.
          Ivan menoleh lalu menyunggingkan senyum tipis di ujung bibir nya. Namun senyuman itu tidak lepas,tidak indah,bahkan jauh dari bahagia. Senyuman itu terpaksa.seolah menutup luka yang sedari tadi tepapar rapi di pelukup mata Ivan. Bu Nani memeluk anaknya dari belakang,air matanya menetes perlahan. Hati nya seolah teririrs belati menyaksikan Ivan yang sekarang. Cahaya bukan hanya pergi seorang diri,namun Cahaya telah membawa serta jiwa Ivan. Cahaya tidak hanya pergi membawa cinta Ivan semata,namun gadis itu telah merenggut nyawa Ivan secara perlahan.
          Hujan seolah memahami perasaan Bu Nani,semakin deras pula ia turun membasahi bumi. Tangisan Bu Nani tenggelam dalam kerasnya suara hujan,air mata seorang ibu melebur dalam tetesan air hujan,menyatu dalam ligkaran kesedihan.
          “ nak,kita makan ya…Ibu sudah selesai masak. Kamu tahu sayang,hari ini Ibu masak sayur asem kesukaan kamu…” suara pelan Bu Nani kembali terdengar.
Ivan mentap ibunya,lalu kembali tersenyum. Seakan ia tidak betah melihat mata sang bunda,bola mata yang penuh dengan kesedihan itu kembali menatap langit pekat.
“ Ibu….dulu Cahaya selalu masak untuk Ivan,kapan Ivan bisa merasakan nikmatnya masakan Cahaya lagi?”  Ivan berkata tanpa memalingkan wajah nya dari langit.
          Tanpa bisa di tahan lagi,seketika air mata membasahi pipi wanita yang mulai menua itu. kali ini ia memeluk Ivan lebih erat dari sebelumnya.
“ Sejujurnya ibu juga sangat merindukan dia Van. Ibu sangat rindu canda tawanya,ceritanya,senyumannya. Ivan anak ku, Cahaya menyisakan cinta yang luar biasa dalam kehidupan kita nak. Andai saja ibu bisa menukar umur ibu dengannya. Bahkan dia lebih bisa mengerti kamu di banding ibu. Cahaya kau dengar nak,kami sangat mencintai mu,terlebih Ivan. Sampai kapan kamu akan meninggalakan kami dengan kenangan indah penuh luka. Cahaya,datanglah nak walaupun sedetik,katakan pada Ivan kalau kau baik-baik saja. Kalau perlu jemput Ivan agar bisa bersama mu,Ibu lebih senang Ivan pergi bersama mu dari pada harus melihatnya seperti ini….” jerit Bu Nani dalam hati.
Bu Nani tidak tahan lagi,ia segera berlari masuk kedalam rumah. Sedangkan Ivan tetap duduk di bangku teras rumahnya. Hujan belum juga reda.
          “Ivan,aku janji,aku akan menyelesaikan S1 dalam waktu tiga setengah tahun. Lalu aku akan menerima lamaran mu,kita akan menikah,membangun keluarga kecil yang bahagia. Ivan sejujurnya aku juga sudah tidak sabar lagi menunggu dimana waktu menjadikan kamu sebagai imam ku…” jawab Cahaya sambil mengahabiskan es cream nya.
Ivan tersenyum mendengar jawaban tulus Cahaya.

‘ Iya,kuliah yang rajin sayang,aku yakin kamu bisa,tidak lama lagi. Hanya tinggal satu tahun lagi kan?”
Cahaya mengangguk  pasti. Malam pun terasa indah,bintang seperti ikut bahagia menyaksikan dua insan yang kasmaran. Ada cinta suci yang menyelimuti Ivan dan Cahaya.
          Ivan adalah direktur utama di sebuah perusahaan perakitan sepeda motor. Waktu itu mobil Ivan mogok,ia lalu turun dan mencari taxi. Ivan harus segera pulang karena malam itu Ibu nya sedang berulang tahun. Ivan ingin memberikan kejutan kepada ibunya. Sayangnya mobil Ivan mogok di tempat sepi sehingga tidak ada taxi yang lewat. Ivan berjalan menelusuri gelapnya malam. Betapa kagetnya Ivan ketika ia sadar bahwa kue ulang tahun untuk ibunya belum di ambil.
          Saat itulah Cahaya lewat sambil membawa kue ulang tahun untuk sahabat nya. Cahaya berjalan sambil tersenyum memandangi kotak kue. Berbulan-bulan Cahaya menyisikan uang sakunya agar bisa memberikan kejutan kepada Keira. Dari kejauhan Cahaya melihat seorang pria sedang duduk di samping jalan. Wajah pria itu tertutup telapak tangan. Cahaya memberanikan diri menghampiri pria itu. itulah awal dimana Ivan bertemu dengan Cahaya.
“ohh,jadi mas mau ngerayain ulang tahun ibu mas,tapi mobilnya mogok dan kuenya belum diambil?” tanya Cahaya kepada Ivan setelah sekian lama berbincang.
Ivan mengangguk pelan,wajahnya terlihat sangat kecewa. Cahaya tersenyum,lalu memberika kotak kue kepunyaannya pada Ivan. Ivan menatap kotak itu seakan bertanya “ apa isinya?”.
“ buka saja mas,semoga bisa membantu.” kata Cahaya.
Ivan membuka kotak itu,tidak lama kemudian senyumannya merekah. Matanya berbinar menatap Cahaya.
“ sebenarnya itu untuk sahabat ku,tapi Mas lebih membutuhkannya. Berikan kue itu untuk ibu Mas,aku pamit pulang dulu. Selamat tinggal..”
          Ivan lalu mengejar Cahaya. Ia langsung meminta nomor handphone gadis cantik itu. berdalih agar suatu hari nanti bisa membalas kebaikan hati Cahaya. Akhirnya malam itu Ivan bisa merayakan ulang tahun ibu nya,sedangkan Cahaya pulang ke kosan dengan sepotong donat yang di beri lilin. Hanya itu yang bisa ia serahkan kepada Keira. Keira terlihat senang sekali walaupun kue ulang tahunnya hanya berupa sepotong kue donat.
          Hari-hari berjalan dengan sangat menyenangkan. Setelah satu tahun  Ivan menjalani pendekatan dengan Cahaya akhirnya mereka jadian. Ibu Ivan sangat senang mendengar kabar bahagia itu. selama ini Cahaya memang sudah sangat dekat dengan Bu Nani. Ketika tidak ada jadwal kuliah, Cahaya selalu menyempatkan diri membantu Bu Nani menyiapakan makan siang untuk Ivan. Walaupun orang kantoran tetapi Ivan tidak suka makan siang di restaurant. Menurutnya masakan Ibunya jauh lebih lezat,apalagi kalau berkolaborasi dengan Cahaya. Rumah makan di planet Mars pun kalah.
                   Suatu ketika setelah selesai makan siang,Ivan dan Cahaya duduk di balkon lantai dua. Semilir angin menemani mereka.
“ Aya,terimakasih sudah membuat Ibu bahagia!” kata Ivan pelan.
Cahaya tersenyum,cahaya matanya seindah namanya. Senyumannya bisa membius para dewa di langit,begitu sempurnanya seorang gadis bernama Cahaya. Ivan tidak akan pernah bisa berpisah dari senyuman itu.
“ Sudah menjadi tugas ku membahagiakan seorang ibu Mas…” jawab Cahaya.
“ Ibu sudah tidak sabar lagi menunggu mu tinggal di rumah ini sayang”
“ Cahaya juga sudah tidak sabar lagi menggantikan tugas Ibu mengurus mu. Kasihan Ibu sudah terlalu cape’,sudah waktunya dia istirahat tanpa harus memikirkan keperluan sehari-hari kamu Mas!”
Ivan mengangguk,
“ jadi kapan?”
Cahaya menoleh,
“ kapan apanya?”
Ivan tertawa lalu menarik tangan Cahaya.
“ kapan harus ku sematkan cincin pernikahan di jari manis mu Aya?”
Cahaya tersenyum,tanpa terasa air matanya menetes. Ivan memeluk sang kekasih hati. Janji sudah tertanam kuat di dalam hatinya,tidak akan ada perempuan lain selain Cahaya dalam kehidupannya.
“ jam makan siang sudah usai Mas,pergilah ke kantor. Seorang pemimpin harus menjadi panutan yang baik untuk para karyawan nya.” Kata Cahaya sambil merapikan dasi dan jas Ivan.
Ivan kambali tersenyum,matanya tak lepas dari jemari indah Cahaya yang kini sedang merapikan dasinya.
“ Aya,tersenyumlah lagi…”
Mendengar ucapan Ivan,senyum Cahaya langsung merekah.
“ aku pasti akan sangat merindukan senyuman indah mu!”
“ pergilah,hati-hati dan jangan lupa tunaikan sholat ashar,kalau maghrib belum juga pulang sebaiknya sholat berjamaah di kantor. Aku harap Mas bisa jadi imam untuk karyawan serta rumah tangga kita nanti. Amin…”
          Begitulah Cahaya untuk Ivan. Begitpula indahnya hari-hari mereka. Tidak akan ada seorangpun yang bisa merenggut kebahagiaan mereka. Cahaya benar-benar seperti cahaya yang selalu menerangi kehidupan Ivan. Cahaya yang selalu menuntun Ivan berada di jalan Allah. Cahaya yang di berikan Allah untuk menemani Ivan,namun entah apa alasannya Allah mengambil lagi cahaya itu.
          “ Cahaya? Apa yang terjadi? Kamu terlihat sangat murung sayang?” tanya Ivan ketika menjemput Cahaya di kampus.
          Mereka tidak segera pulang,kebetulan malam ini adalah malam minggu. Ivan dan Cahaya duduk di taman samping kampus. Taman itu tidak terlalu besar namun indah. Terlihat beberapa orang yang keluar masuk taman. Ada yang duduk-duduk sambil ngobrol,ada pula yang menghabiskan makan malam nya di taman itu.
“ kamu sakit? Apa sebaiknya kita pergi ke dokter?” Ivan kembali bertanya sebab pertanyaan sebelumnya belum di jawab oleh Cahaya.
“ Mas….apa kamu sudah bisa sholat lima waktu dengan tepat waktu?”
Ivan kaget mendengar pertanyaan Cahaya. Ivan lalu mengiyakan pertanyaan itu.
“ Mas sudah berusaha Aya,sudah mas lakukan. Namun terkadang tidak semunya tepat waktu,jika ada pekerjaan yang tidak bisa di tunda maka terpaksa lewat sedikit lah!”
“ Alhamdulillah,apa sehabis sholat mahgrib Mas mengisi waktu dengan mengaji?”
“ tentu sayang,bukankah dulu engkau yang mengajari Mas mengaji. Sekarang Mas sudah lancar mengaji….” Kali ini Ivan menjawab dengan sangat bangga.
Cahaya kembali tersenyum.
“ Mas aku punya hutang besar kepada mu. Aku takut tidak bisa membayarnya. Aku takut engkau akan marah pada ku…” kali ini wajah Cahaya kembali murung.
          Ivan mengerutkan keningnya tanda bahwa ia tidak mengerti maksud ucapan Cahaya. Bisa-bisanya Cahaya membahas masalah hutang,padahal selama ini Cahaya tidak pernah sepeser pun meneima pemberian Ivan. Cahaya selalu menolak pemberian Ivan. Ivan menyentuh pipi Cahaya. Di tatapnya bola mata indah itu,aneh kali ini seperti ada yang hilang,cahaya yang selalu berkobar dalam bola mata itu,kini seperti telah redup.
“ Tidak pernah Mas berniat marah kepada mu Aya. Semua yang telah kau lakukan begitu berarti untuk kehidupan Mas,kau telah memberikan yang terbaik untuk Mas. Apapun yang terjadi Mas tidak akan marah kepada mu!”
“ benarkah??? Berarti kalau aku pergi Mas tidak akan marah?”
“ iya….mas tidak marah,karena Mas yakin hanya ke hati mas lah kamu akan pergi!”
“ Mas,Cahaya serius. Mas ikhlas?”
Ivan memeluk Cahaya dengan sangat erat. Tiba-tiba saja hati nya terasa perih,entah apa yang terjadi. Air matanya menetes,Ivan bingung. Malam ini terasa menyudutkan mimpinya. Bibirnya bergetar hebat saat mengatakan “ Ikhlas sayang. Pergilah!”
          Seolah itu adalah pertanda dari Yang Maha Kuasa. Ivan tidak pernah mau mengucapkan kata-kata itu,namun semua terasa seperti mimpi. Kalimat itu meluncur dengan sangat lancar tanpa ia sadari. Kini air matanya semikin deras saja. Jantungnya berdetak semakin kencang. Ivan berusaha mengenggam jemari Cahaya. Namun jemari itu kini dingin seperti bongkahan es batu. Ivan langsung melepaskan pulukannya. Ia mengguncang-guncang tubuh Cahaya yang seketika melemah. Cahaya tersenyum,wajahnya bersinar.dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit kalimat dua kali masyhadat meluncur indah.
 Ivan diam membeku. Di peluknya erat tubuh yang kini telah kehilangan ruh itu. wajahnya tengadah menatap langit,menghujat dengan tatapan nanar. Teriakannya hanya untuk satu nama
“ CAHAYA……”.
Hujan pun turun rintik-rintik,mewakili hati yang kehilangan. Mengantarkan jiwa yang kini terbang ke langit.
          Cahaya benar-benar pergi. Selama-lamanya meninggalkan orang-orang yang mencintainya. Tidak ada yang bisa melupakan Cahaya. Cahaya datang untuk menerangi,membawa cinta dan kasih sayang. Tidak ada yang bisa menghapuskan cinta Cahaya. Mungkin Allah terlalu menyayangi Cahaya. Bahkan Cahaya pergi dengan cara yang indah,nyaris seperti cahaya. Cahaya seperti pelangi setelah hujan. Datang dengan keindahan lalu pergi dengan keindahan yang membekas di hati setiap insan.
         
          Catatan terakhir Cahaya untuk cahaya.
          Ku rasa telah sampai
            Cahaya mulai redup
            Tak ingin ku sisakan cinta
Karena begitu menyakitkan.
Cahaya mulai pudar
Adakah pengganti?
Tak ingin ku sisakan kasih dan sayang
Apalagi untuk nya
Bukan hanya dia yang terluka
Aku juga!
Apalah daya,
Tugas tinggallah catatan
Aku harus segera pulang.
Ku tinggalakan kanvas lukis yang telah jadi
Dan ku harap tidak hanya jadi pajangan
Ku ingin kau bingkai dengan ketulusan Nya
Cahaya tidak pernah pergi
Dia tlah hidup dalam jiwa mu.
Tak perlu kau cari….
Sebab dia ada bersama mu.

          Ivan melipat kertas itu. Tangan kanan nya berusaha menghapus air mata. Adzan sholat Ashar telah berkumandang. Hujan pun mulai reda.
          Ivan berdiri hendak masuk dan menunaikan sholat. Hanya dengan cara itu ia bisa melihat kembali wajah sang kekasih hati. Namun langkahnya terhenti. Ada suara yang sangat ia kenali berbisik.
Tiga bulan yang lalu,di teras rumah,
“ Selamat ulang tahum Mas….” Cahaya berdiri di depan Ivan sambil menyodorkan kotak paketan.
Ivan menerima kota iku dengan suka cita. Ternyata isi nya sebuah baju koko,peci,sarung,dan sajadah. Ivan menatap Cahaya dengan perasaan yang sangat bahagia.
“ Mas,itu Aya beli dengan ikhlas,hasil kerja keras Aya. Aya tidak pernah datang lagi membantu Ibu karena Aya bekerja. Hasilnya untuk Mas.  Mas harus rajin sholat ya supaya keringat Aya tidak terbuang cuma-cuma”.
Betapa bahagianya Ivan saat itu. Jauh lebih bahagia dari pada ia di promosikan menjadi seorang direktur. Ivan merasa Allah telah menurunkan seorang bidadari untuknya.
“ sekarang sudah waktunya sholat Ashar Mas…” suara Cahaya mengingatkan Ivan.
          Hari itu Ivan menunaikan sholat Ashar nya dengan bercucuran air mata. Sujud syukur ia panjatkan dalam takbir menyebutkan nama Tuhan. Pakaian baru yang di berikan oleh Cahaya membingkai ibadahnya.
          Ivan yang sedari tadi terpaku mulai melangkah sambil menarik nafas panjang. Setelah mengambil air wudhu ia masuk kedalam kamar. Perlengkapan sholat pemberian Cahaya terpajang rapi di atas meja hias. Ivan membentang sajadah lalu mulai melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Doa terakhir ia panjatkan untuk cinta yang sudah tiada. Dalam sujud wajah Cahaya bersinar sedang tersenyum kepada nya.
“ Ya Allah jaga dia. Tempatkan dia di sisi Mu. Berikan dia kebahagiaan seutuhnya. Hamba sangat mencintainya,sisakan waktu agar hamba bisa bersamanya lagi. Ya Allah,jangan biarkan cahaya Mu pudar dalam hati hamba. Cahaya,maafkan Mas yang sampai hari ini tidak pernah ikhlas. Kau benar-benar tidak pernah terganti sayang! Antarkan Mas ke titik cahaya di mana Mas bisa bertemu dengan mu lagi….”

25 Desember 2013
19.00-20.44
Putri Marzalina
Terinspirasi dari lagu Fatin “ Cahaya di Langit itu”